Friday, August 26, 2011

Biarkan Aku Jadi Ularmu

Nestapa Braha mendesis-desis dalam deras hujan yang meneriaki kawanannya. Lidahnya terjulur-julur seakan membawa alur yang mengajak berkumpul, mereka yang mengerti segera hadir membentuk derap barisan sunyi. Pemandangan yang dapat disaksikan adalah ular-ular yang tubuhnya saling berkelit, melangkah bersama mengikuti desis yang sudah dihapal udara. Kemudian, ular-ular dengan berbagai corak tadi serentak membentuk barikade lingkaran mengelilingi Nestapa yang masih terus mendesis penuh geram. Masing-masing telah menggulung tubuhnya dan sedikit menegakkan kepalanya ke atas. Mata Nestapa berkeliling memandangi satu demi satu anak-cucunya, bola mata yang tajam belum menemukan sosok yang paling sering dicari,

“Mana Anndora?”

Ular-ular lain sontak saling pandang, turut mencari putri Anndora yang kunjung menyalakan mahkotanya. Cucu ketujuh keturunan langsung Nestapa Braha ini memiliki sisik emas ditambah pesona paras ayu yang temaram ditimpa surya. Kehalusan sisiknya berpendaran bersama kerjapan pupil yang kelap-kelip bagai purnama. Anndora, ular tercantik di abad ini.

“Jangan-jangan dia tersasar lagi? Kita kan baru sebulan menempati hutan yang enak ini.” Kata Cobula, ular cobra istri pertama Nestapa. Demi keselamatan Anndora, kawanan ular yang dipimpin oleh Nestapa mengungsikan keturunannya ke hutan ini, hutan yang hanya berkomunitas katak dan belalang. Setelah sebelumnya mereka tinggal di hutan yang dikuasai raja elang, komunitas hutan yang sempurna, posisi ular di sana hanyalah sebagian kecil peranannya bagi keseimbangan ekosistem. Ketika pesona Anndora memikat hati Sang Elang, tiada yang berani menunjukkan cinta kasihnya pada Anndora. Kawanan ular yang takut itu hanya mampu pergi menghindar.

“Maaf ... maafkan saya kakek raja...saya...saya....” beberapa saat kemudian yang ditunggu pun tiba dengan napas yang tersengal-sengal. Ia mengibaskan ekornya yang lentik lalu menundukkan kepala sebagai wujud penghormatan.
“Kami semua mencemaskanmu, sayang.” Nestapa menggoser tubuhnya mendekati Anndora lalu mengaitkan ekornya pada ekor cucu kesayangannya itu, menggandengnya ke pusat lingkaran.
“Karena Anndora sudah kembali, kita mulai saja rapat ini. Saya ingin memberitahukan pada kalian bahwa musuh terbesar kita di sini adalah kawanan katak yang sejak awal telah menempati hutan ini. Mereka adalah sumber makanan kita. Di sini tak ada elang, tak ada macan, yang ada hanyalah katak-katak yang dapat dengan mudah kita lahap. Ha...ha...ha...”

Tak seekor pun yang tak menyimak untaian kalimat Nestapa, raja yang tegas berwibawa dengan tiga ular istri yaitu Cobula, Baipila dan Herpax. Ular-ular menari bahagia, gegap gempita dan riang gembira mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Nestapa. Mereka saling mengibaskan ekor sembari menjulurkan lidahnya panjang-panjang.
“Tetapi!” euforia yang mereka ciptakan dipaksa berhenti sejenak, “kalian tak boleh senang dulu,” lanjut Nestapa, ular-ular lain lantas terdiam, anteng mendengarkannya bicara.
“Kita tak boleh menganggap remeh katak-katak itu, karena walau bagaimanapun katak-katak itu sudah lama mendiami hutan ini dan pastinya mereka lebih mengetahui seluk-beluk hutan ini daripada kita. Jadi, tidak menutup kemungkinan kita kalah dalam perang dua hari lagi!”
“Apaaa??! Perang? Kok bisa?” tandas Anndora kaget.
“Iya sayang, dua hari lagi kita akan berperang dengan kawanan katak itu. Frostang, si kepala katak yang memulai duluan. Untuk itu saya minta satu ular memangsa satu katak!”
“Siap Raja!” setiap ular terlihat penuh tawa dalam gulungan tubuhnya, kecuali untuk yang tercantik di tengah sana, Anndora, sudut matanya pias.
“... Egypt, kau memangsa Reqi, katak yang kakinya cacat.” Egypt tersentak lalu menjulurkan lidahnya, tanda senyum dalam selimut picik yang kian mengerjap sengit.
“Golombo, Pewe si anak katak bagianmu.”
“Mangsa enak!” Golombo mendesis pelan, tetapi gaya bicaranya tajam.
“Jarva memakan Frostang si kepala katak, saya yakin kau mampu Jarva, melihat sisikmu yang tajam.”
“Pasti raja!” jawab Frostang mantap.
“... dan terakhir kau Anndora, carilah Denny, katak hijau yang lihai sekali melompat dan sungguh menjengkelkan.”

Tiba-tiba batang daun yang semarak itu terjuntai lemas, melepas pegangannya pada tangkai pilu yang enggan bersahabat lagi dengan angin.


“Apaaaaaaaa???” pekik Anndora, melepas gulungan tubuhnya lalu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
“Kau keberatan sayang?”
“E...e...saya...tidak...tap...”
“Oh, baiklah kalian boleh ke tempat masing-masing untuk mempersiapkan tugas besar ini. Ingat-ingat dua hari lagi kita PERANG! Kita jadikan hutan ini milik kita!”
“SIAP !!!”

Cahaya di ufuk timur menyeruak diiringi gumpalan awan putih yang melesat tinggi ke langit biru. Nuansanya terbentang luas, mengalahkan beribu riuh dedaunan yang berdesakan diujung rantingnya. Bersaing warna yang tak pernah sekali pun memikirkan gurauan hitam. Satu yang mereka tak tahu, daun yang bergandengan itu mengisyaratkan surya tuk menyusup diam. Diamnya ke arah celah yang terbuka untuk sedikit menerangi seekor ular yang sedang menelungkup, menggulung tubuhnya dan melunglaikan kepalanya, mengimbangi pikirannya yang berjalan mundur.
Anndora menyusuri jalanan hutan yang menepi di sisi sungai yang sembunyi di relung hutan. Ritual barunya akan segera dimulai: mencuci ekor. Setiap tiga puluh tiga jam sekali ia mencelupkan ekor emasnya ke tepi sungai yang dipercaya manusia sebagai sungai cinta. Di penghujung cuciannya, ia merasa sesuatu merayapi sisik emasnya.
“Hai, ! siapa itu?” Annora yang terkesiap sontak menggulungkan tubuhnya, siap lari menyelamatkan diri.
Sesosok katak hijau menyebarkan karisma jantannya pada sisik emasnya yang berkilauan diterpa ultraviolet. Udara mengalirkan hawa saling tatap kepada aliran pandang masing-masing, gejolak panas bumi belum mau reda sampai sebuah suara terkeluarkan.
“Namaku Denny wahai ular cantik.”
Anndora tersipu malu, “Aku Anndora, senang berkenalan denganmu.” Ekor emasnya ia goserkan pada tubuh Denny yang terlampau kecil. Katak hijau itu dengan sigap melayangkan tubuhnya ke atas ekor Anndora yang bersisik, sakit sedikit, tetapi ia tak peduli. Melompatinya lalu menurunkan tubuhnya lagi. “Anndora, nama yang indah, kau terlihat baik wahai ular, tidak seperti ular-ular lain yang selalu mengejarku ketika mereka melihatku. Padahal, kami kaum katak sangat ingin hidup damai bersama kalian.”
“Entahlah Denny, kaumku ingin membinasakan kalian dan menguasai hutan ini, padahal kami di sini kan cuma numpang. Aku yakin kalian baik, Denny apa kau mau menjadi kawanku?”
“Oh, Anndora, makhluk mana yang tak mau berkawan denganmu. Dengan senang hati.” Denny menurunkan kepalanya lalu melompat riang ke atas kepala ular cantik itu.
Pertemuan yang mengesankan itu mengantarkan mereka pada sebuah alur kisah tak biasa yang nyaris melupakan jati di masing-masing. Benih yang ada tak sekadar menumbuhkan cinta, takdir dan suratan pun seolah kalah dengan atmosfer sentausa yang berendam manis di hati mereka. Perlahan tapi pasti hubungan katak dan ular itu sudah bukan lagi seorang kawan. Suara air sungai yang berderai menjadi saksi setiap pertemuan yang tak sengaja menjadi rahasia. Sebuah rayuan cinta terlarang telah lahir di pelosok hutan yang menyembunyikan aliran sungai. Di tengah perseteruan yang terjadi di antara kaum mereka, Anndora berharap penuh menjadi ular milik Denny sepenuhnya. Kalau takdir dianugerahkan setelapak tangan, tentu ia akan menampar muka Anndora dan Denny—menyatukan muka keduanya barangkali—dengan kekuatan gempa super skala richter yang menumpahkan benua. Cinta memang tak kenal arah datangnya.

“Hai Anndora, ada apa gerangan kau melamun sayang?” Denny, seperti biasa, melompat ke atas kepala Anndora.
Anndora tersentak dari lamunannya,
“Oh kamu Denny,” Anndora menyeka keringatnya sejenak sebelum meneruskan, “Aku dengar kaummu dan kaumku esok akan berperang. Betulkah itu?”
“Apa ???”
“Ya, dan itu sangat tidak mungkin bagiku karena aku sangat mencintaimu Denny,” isak tangis menyembul dari sudut mata Anndora yang berkilauan, mengalahkan desiran air sungai yang memecah bebatuan.
“Aku harus menelan hidup-hidup jazad kekasihku? Aku tak mampu Denny. Aku mencintaimu.”
“Anndora, begitu pun aku, aku sangat mencintaimu. Mengapa ular tidak ditakdirkan untuk berkawan dengan katak dan mengapa katak harus ditakdirkan untuk dimangsa ular?”
Anndora mendekatkan kepalanya pada tubuh Denny dan menciumnya lembut. Tanpa mereka sadari Egypt, ular yang sangat iri pada Anndora karena dia sangat disayangi oleh kakek raja Nestapa telah mencuri dengar segala yang telah mereka bicarakan.

“Apa kau bilang? Cucu kesayanganku menjalin cinta dengan katak dekil itu? Jangan main-main Egypt!” lantang kakek raja Nestapa saking marahnya mendengar cerita Egypt.
Egypt tersenyum puas menyaksikan aura kemarahan yang memantul liar di sepanjang tubuh Nestapa Braha yang geram tiada terkira. Misinya akan mulus kalau kepercayaan Nestapa pada Anndora menguap, ia bebas mempersiapkan diri sebagai pewaris Mahkota Braha tanpa saingan yang kuat.

Malam penuh bintang. Terlihat para ular sedang menyusun siasat, diam-diam Anndora menyusup keluar persinggahannya, menuju kawasan katak untuk memberitahu segala rencana yang telah dipersiapkan kaumnya.
“Kalian harus pergi dari sini, mereka sangat kuat, kalian pasti mati.” Anndora mendesis.
“Terima kasih Anndora, tapi bagaimana kita pergi?”
“Frostang, aku tahu jalannya, ikuti petunjukku, kalian akan kabur melalui lubang air di tepi sungai.”
“Baiklah, semua cepat berkemas!” seru Frostang. Sekejap kawanan katak telah bersiap dengan ransel masing-masing. Berjalan berurutan menuju tepi sungai. Satu demi satu katak memasuki lubang saluran pipa yang mengantar mereka menuju sawah manusia yang asri. Mereka akan hidup tenang di sana. Frostang telah memasuki lubang itu dilanjutkan Reqi yang digendong oleh Pewe karena kakinya cacat.
Hanya Denny seorang yang masih setia di luar lubang.
“Anndora, aku tak bisa berpisah denganmu.” Katanya,
“Ini demi keselamatanmu Denny, pergilah!”
“Tapi ...”
“ANNDORA!!!” geraman Nestapa mengagetkan mereka, keduanya saling tatap dan seketika mematung tanpa sanggup berlaku apa-apa. Nestapa Braha diikuti Egypt, Cobala, Barpala, dan Golombo lekas mengepung sepasang penentang takdir tersebut dengan kilatan amaranh yang menggelora.
“Egypt tangkap kodok tengil itu!” Perintahnya “...dan Golombo masuk ke lubang itu dan susul mereka!”
Anndora berjingkat, merelakan ekor emasnya untuk mendorong batu di sampingnya agar bergerak menutupi saluran air yang dimaksud. Golombo pun tak kuasa memasuki lubang tersebut, sementara Egypt telah berhasil menangkap Denny, membelitnya dengan tubuhnya yang kuat.
Denny tercengkeram, napasnya hampir habis.
“Lepaskan Denny Kakek!” Anndora menunduk penuh harap. Memohon penuh sesal
“Kau telah membuat santapan kami lenyap! Berdebah kau!” ini adalah kali pertama Anndora mendengar kakek bicara sekasar ni padanya, tubuhnya menggigil seketika. Inderanya entah masih berfungsi atau tidak, matanya tidur dalam setiap kedipan yang ada sedangkan telinganya hanya mampu mendengar deruan suara mobil yang bersahutan.
“Golombo seret dia!”
Golombo mengaitkan ekor merahnya pada kepala Anndora dan menyeretnya sampai persinggahan. Bintang-bintang telah meninggalkan gugusnya, digantikan oleh rona merah matahari yang muncul dari ufuk timur, tersenyum bangga akan ketinggian dirinya berkisar di lembayung langit. Langit yang begitu damai tak tergambarkan dalam percekcokan di bawahnya.
“Lihatlah, sang penentang takdir Anndora, ular tercantik sepanjang abad ini telah mencintai seekor kodok hida. Cuih!” kata Egypt.
“Cukup Egypt! Anndora, walau bagaimanapun juga harus menjalankan tugasmu.”
“Makan Denny!” geram Nestapa menatap wajah Anndora yang semakin sayu, entah pegi ke mana cinta kasihnya pada cucu kesayangannya ini. Sekarang ia bahkan tak menaruh belas kasihan sama sekali pada Anndora yang nyaris hilang sisi keemasannya.
. “Tidaak ...!” tandas Anddora.
“Lakukan atau dia mati ditanganku!”
“Tidak kakek, saya mohon lepaskan dia, ....” tangisnya merebak
“Golombo, bawa Denny kemari!”
“Baik, baiklah, biar aku yang me ma kan nya,”
Kini Denny berada di hadapan Anndora, siap untuk menjadi santapannya. Namun, tak sedetik pun Anndora memandang tubuh Denny yang lesu. Sampai akhirnya Denny melompat ke atas kepalanya dan membisikan sesuatu.
“Baiklah biar aku yang memakannya!” tukas Nestapa.
“Tidiak kakek, baiklah aku akan memakannya.” Anndora melantunkan kalimatnya sedikit lebih mantap dari sebelumnya.
Dengan memejamkan mata, Anndora membuka mulutnya lebar-lebar dan Denny melompat masuk ke dalamnya. Gelembung-gelembung air mata mulai membanjiri tubuh Anndora, perlahan ia menutup mulutnya dan menelan apa yang ada didalamnya. Pahit atau manis hampir tak tersisa, yang terasa hanyalah resapan air mata.

“Sampai kapanpun aku akan mencintaimu, Aku akan hidup meskipun di dalam organmu. Karena di sanalah dapat ku resap cintamu dan kunikmati alunan kasih terdalamu.”

-untuk yang mencinta, tapi tak kuasa mendapat-
Read More... Biarkan Aku Jadi Ularmu
 

Suchz Aha'! Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting