Friday, August 26, 2011

Biarkan Aku Jadi Ularmu

Nestapa Braha mendesis-desis dalam deras hujan yang meneriaki kawanannya. Lidahnya terjulur-julur seakan membawa alur yang mengajak berkumpul, mereka yang mengerti segera hadir membentuk derap barisan sunyi. Pemandangan yang dapat disaksikan adalah ular-ular yang tubuhnya saling berkelit, melangkah bersama mengikuti desis yang sudah dihapal udara. Kemudian, ular-ular dengan berbagai corak tadi serentak membentuk barikade lingkaran mengelilingi Nestapa yang masih terus mendesis penuh geram. Masing-masing telah menggulung tubuhnya dan sedikit menegakkan kepalanya ke atas. Mata Nestapa berkeliling memandangi satu demi satu anak-cucunya, bola mata yang tajam belum menemukan sosok yang paling sering dicari,

“Mana Anndora?”

Ular-ular lain sontak saling pandang, turut mencari putri Anndora yang kunjung menyalakan mahkotanya. Cucu ketujuh keturunan langsung Nestapa Braha ini memiliki sisik emas ditambah pesona paras ayu yang temaram ditimpa surya. Kehalusan sisiknya berpendaran bersama kerjapan pupil yang kelap-kelip bagai purnama. Anndora, ular tercantik di abad ini.

“Jangan-jangan dia tersasar lagi? Kita kan baru sebulan menempati hutan yang enak ini.” Kata Cobula, ular cobra istri pertama Nestapa. Demi keselamatan Anndora, kawanan ular yang dipimpin oleh Nestapa mengungsikan keturunannya ke hutan ini, hutan yang hanya berkomunitas katak dan belalang. Setelah sebelumnya mereka tinggal di hutan yang dikuasai raja elang, komunitas hutan yang sempurna, posisi ular di sana hanyalah sebagian kecil peranannya bagi keseimbangan ekosistem. Ketika pesona Anndora memikat hati Sang Elang, tiada yang berani menunjukkan cinta kasihnya pada Anndora. Kawanan ular yang takut itu hanya mampu pergi menghindar.

“Maaf ... maafkan saya kakek raja...saya...saya....” beberapa saat kemudian yang ditunggu pun tiba dengan napas yang tersengal-sengal. Ia mengibaskan ekornya yang lentik lalu menundukkan kepala sebagai wujud penghormatan.
“Kami semua mencemaskanmu, sayang.” Nestapa menggoser tubuhnya mendekati Anndora lalu mengaitkan ekornya pada ekor cucu kesayangannya itu, menggandengnya ke pusat lingkaran.
“Karena Anndora sudah kembali, kita mulai saja rapat ini. Saya ingin memberitahukan pada kalian bahwa musuh terbesar kita di sini adalah kawanan katak yang sejak awal telah menempati hutan ini. Mereka adalah sumber makanan kita. Di sini tak ada elang, tak ada macan, yang ada hanyalah katak-katak yang dapat dengan mudah kita lahap. Ha...ha...ha...”

Tak seekor pun yang tak menyimak untaian kalimat Nestapa, raja yang tegas berwibawa dengan tiga ular istri yaitu Cobula, Baipila dan Herpax. Ular-ular menari bahagia, gegap gempita dan riang gembira mendengar apa yang baru saja disampaikan oleh Nestapa. Mereka saling mengibaskan ekor sembari menjulurkan lidahnya panjang-panjang.
“Tetapi!” euforia yang mereka ciptakan dipaksa berhenti sejenak, “kalian tak boleh senang dulu,” lanjut Nestapa, ular-ular lain lantas terdiam, anteng mendengarkannya bicara.
“Kita tak boleh menganggap remeh katak-katak itu, karena walau bagaimanapun katak-katak itu sudah lama mendiami hutan ini dan pastinya mereka lebih mengetahui seluk-beluk hutan ini daripada kita. Jadi, tidak menutup kemungkinan kita kalah dalam perang dua hari lagi!”
“Apaaa??! Perang? Kok bisa?” tandas Anndora kaget.
“Iya sayang, dua hari lagi kita akan berperang dengan kawanan katak itu. Frostang, si kepala katak yang memulai duluan. Untuk itu saya minta satu ular memangsa satu katak!”
“Siap Raja!” setiap ular terlihat penuh tawa dalam gulungan tubuhnya, kecuali untuk yang tercantik di tengah sana, Anndora, sudut matanya pias.
“... Egypt, kau memangsa Reqi, katak yang kakinya cacat.” Egypt tersentak lalu menjulurkan lidahnya, tanda senyum dalam selimut picik yang kian mengerjap sengit.
“Golombo, Pewe si anak katak bagianmu.”
“Mangsa enak!” Golombo mendesis pelan, tetapi gaya bicaranya tajam.
“Jarva memakan Frostang si kepala katak, saya yakin kau mampu Jarva, melihat sisikmu yang tajam.”
“Pasti raja!” jawab Frostang mantap.
“... dan terakhir kau Anndora, carilah Denny, katak hijau yang lihai sekali melompat dan sungguh menjengkelkan.”

Tiba-tiba batang daun yang semarak itu terjuntai lemas, melepas pegangannya pada tangkai pilu yang enggan bersahabat lagi dengan angin.


“Apaaaaaaaa???” pekik Anndora, melepas gulungan tubuhnya lalu mengangkat kepalanya tinggi-tinggi.
“Kau keberatan sayang?”
“E...e...saya...tidak...tap...”
“Oh, baiklah kalian boleh ke tempat masing-masing untuk mempersiapkan tugas besar ini. Ingat-ingat dua hari lagi kita PERANG! Kita jadikan hutan ini milik kita!”
“SIAP !!!”

Cahaya di ufuk timur menyeruak diiringi gumpalan awan putih yang melesat tinggi ke langit biru. Nuansanya terbentang luas, mengalahkan beribu riuh dedaunan yang berdesakan diujung rantingnya. Bersaing warna yang tak pernah sekali pun memikirkan gurauan hitam. Satu yang mereka tak tahu, daun yang bergandengan itu mengisyaratkan surya tuk menyusup diam. Diamnya ke arah celah yang terbuka untuk sedikit menerangi seekor ular yang sedang menelungkup, menggulung tubuhnya dan melunglaikan kepalanya, mengimbangi pikirannya yang berjalan mundur.
Anndora menyusuri jalanan hutan yang menepi di sisi sungai yang sembunyi di relung hutan. Ritual barunya akan segera dimulai: mencuci ekor. Setiap tiga puluh tiga jam sekali ia mencelupkan ekor emasnya ke tepi sungai yang dipercaya manusia sebagai sungai cinta. Di penghujung cuciannya, ia merasa sesuatu merayapi sisik emasnya.
“Hai, ! siapa itu?” Annora yang terkesiap sontak menggulungkan tubuhnya, siap lari menyelamatkan diri.
Sesosok katak hijau menyebarkan karisma jantannya pada sisik emasnya yang berkilauan diterpa ultraviolet. Udara mengalirkan hawa saling tatap kepada aliran pandang masing-masing, gejolak panas bumi belum mau reda sampai sebuah suara terkeluarkan.
“Namaku Denny wahai ular cantik.”
Anndora tersipu malu, “Aku Anndora, senang berkenalan denganmu.” Ekor emasnya ia goserkan pada tubuh Denny yang terlampau kecil. Katak hijau itu dengan sigap melayangkan tubuhnya ke atas ekor Anndora yang bersisik, sakit sedikit, tetapi ia tak peduli. Melompatinya lalu menurunkan tubuhnya lagi. “Anndora, nama yang indah, kau terlihat baik wahai ular, tidak seperti ular-ular lain yang selalu mengejarku ketika mereka melihatku. Padahal, kami kaum katak sangat ingin hidup damai bersama kalian.”
“Entahlah Denny, kaumku ingin membinasakan kalian dan menguasai hutan ini, padahal kami di sini kan cuma numpang. Aku yakin kalian baik, Denny apa kau mau menjadi kawanku?”
“Oh, Anndora, makhluk mana yang tak mau berkawan denganmu. Dengan senang hati.” Denny menurunkan kepalanya lalu melompat riang ke atas kepala ular cantik itu.
Pertemuan yang mengesankan itu mengantarkan mereka pada sebuah alur kisah tak biasa yang nyaris melupakan jati di masing-masing. Benih yang ada tak sekadar menumbuhkan cinta, takdir dan suratan pun seolah kalah dengan atmosfer sentausa yang berendam manis di hati mereka. Perlahan tapi pasti hubungan katak dan ular itu sudah bukan lagi seorang kawan. Suara air sungai yang berderai menjadi saksi setiap pertemuan yang tak sengaja menjadi rahasia. Sebuah rayuan cinta terlarang telah lahir di pelosok hutan yang menyembunyikan aliran sungai. Di tengah perseteruan yang terjadi di antara kaum mereka, Anndora berharap penuh menjadi ular milik Denny sepenuhnya. Kalau takdir dianugerahkan setelapak tangan, tentu ia akan menampar muka Anndora dan Denny—menyatukan muka keduanya barangkali—dengan kekuatan gempa super skala richter yang menumpahkan benua. Cinta memang tak kenal arah datangnya.

“Hai Anndora, ada apa gerangan kau melamun sayang?” Denny, seperti biasa, melompat ke atas kepala Anndora.
Anndora tersentak dari lamunannya,
“Oh kamu Denny,” Anndora menyeka keringatnya sejenak sebelum meneruskan, “Aku dengar kaummu dan kaumku esok akan berperang. Betulkah itu?”
“Apa ???”
“Ya, dan itu sangat tidak mungkin bagiku karena aku sangat mencintaimu Denny,” isak tangis menyembul dari sudut mata Anndora yang berkilauan, mengalahkan desiran air sungai yang memecah bebatuan.
“Aku harus menelan hidup-hidup jazad kekasihku? Aku tak mampu Denny. Aku mencintaimu.”
“Anndora, begitu pun aku, aku sangat mencintaimu. Mengapa ular tidak ditakdirkan untuk berkawan dengan katak dan mengapa katak harus ditakdirkan untuk dimangsa ular?”
Anndora mendekatkan kepalanya pada tubuh Denny dan menciumnya lembut. Tanpa mereka sadari Egypt, ular yang sangat iri pada Anndora karena dia sangat disayangi oleh kakek raja Nestapa telah mencuri dengar segala yang telah mereka bicarakan.

“Apa kau bilang? Cucu kesayanganku menjalin cinta dengan katak dekil itu? Jangan main-main Egypt!” lantang kakek raja Nestapa saking marahnya mendengar cerita Egypt.
Egypt tersenyum puas menyaksikan aura kemarahan yang memantul liar di sepanjang tubuh Nestapa Braha yang geram tiada terkira. Misinya akan mulus kalau kepercayaan Nestapa pada Anndora menguap, ia bebas mempersiapkan diri sebagai pewaris Mahkota Braha tanpa saingan yang kuat.

Malam penuh bintang. Terlihat para ular sedang menyusun siasat, diam-diam Anndora menyusup keluar persinggahannya, menuju kawasan katak untuk memberitahu segala rencana yang telah dipersiapkan kaumnya.
“Kalian harus pergi dari sini, mereka sangat kuat, kalian pasti mati.” Anndora mendesis.
“Terima kasih Anndora, tapi bagaimana kita pergi?”
“Frostang, aku tahu jalannya, ikuti petunjukku, kalian akan kabur melalui lubang air di tepi sungai.”
“Baiklah, semua cepat berkemas!” seru Frostang. Sekejap kawanan katak telah bersiap dengan ransel masing-masing. Berjalan berurutan menuju tepi sungai. Satu demi satu katak memasuki lubang saluran pipa yang mengantar mereka menuju sawah manusia yang asri. Mereka akan hidup tenang di sana. Frostang telah memasuki lubang itu dilanjutkan Reqi yang digendong oleh Pewe karena kakinya cacat.
Hanya Denny seorang yang masih setia di luar lubang.
“Anndora, aku tak bisa berpisah denganmu.” Katanya,
“Ini demi keselamatanmu Denny, pergilah!”
“Tapi ...”
“ANNDORA!!!” geraman Nestapa mengagetkan mereka, keduanya saling tatap dan seketika mematung tanpa sanggup berlaku apa-apa. Nestapa Braha diikuti Egypt, Cobala, Barpala, dan Golombo lekas mengepung sepasang penentang takdir tersebut dengan kilatan amaranh yang menggelora.
“Egypt tangkap kodok tengil itu!” Perintahnya “...dan Golombo masuk ke lubang itu dan susul mereka!”
Anndora berjingkat, merelakan ekor emasnya untuk mendorong batu di sampingnya agar bergerak menutupi saluran air yang dimaksud. Golombo pun tak kuasa memasuki lubang tersebut, sementara Egypt telah berhasil menangkap Denny, membelitnya dengan tubuhnya yang kuat.
Denny tercengkeram, napasnya hampir habis.
“Lepaskan Denny Kakek!” Anndora menunduk penuh harap. Memohon penuh sesal
“Kau telah membuat santapan kami lenyap! Berdebah kau!” ini adalah kali pertama Anndora mendengar kakek bicara sekasar ni padanya, tubuhnya menggigil seketika. Inderanya entah masih berfungsi atau tidak, matanya tidur dalam setiap kedipan yang ada sedangkan telinganya hanya mampu mendengar deruan suara mobil yang bersahutan.
“Golombo seret dia!”
Golombo mengaitkan ekor merahnya pada kepala Anndora dan menyeretnya sampai persinggahan. Bintang-bintang telah meninggalkan gugusnya, digantikan oleh rona merah matahari yang muncul dari ufuk timur, tersenyum bangga akan ketinggian dirinya berkisar di lembayung langit. Langit yang begitu damai tak tergambarkan dalam percekcokan di bawahnya.
“Lihatlah, sang penentang takdir Anndora, ular tercantik sepanjang abad ini telah mencintai seekor kodok hida. Cuih!” kata Egypt.
“Cukup Egypt! Anndora, walau bagaimanapun juga harus menjalankan tugasmu.”
“Makan Denny!” geram Nestapa menatap wajah Anndora yang semakin sayu, entah pegi ke mana cinta kasihnya pada cucu kesayangannya ini. Sekarang ia bahkan tak menaruh belas kasihan sama sekali pada Anndora yang nyaris hilang sisi keemasannya.
. “Tidaak ...!” tandas Anddora.
“Lakukan atau dia mati ditanganku!”
“Tidak kakek, saya mohon lepaskan dia, ....” tangisnya merebak
“Golombo, bawa Denny kemari!”
“Baik, baiklah, biar aku yang me ma kan nya,”
Kini Denny berada di hadapan Anndora, siap untuk menjadi santapannya. Namun, tak sedetik pun Anndora memandang tubuh Denny yang lesu. Sampai akhirnya Denny melompat ke atas kepalanya dan membisikan sesuatu.
“Baiklah biar aku yang memakannya!” tukas Nestapa.
“Tidiak kakek, baiklah aku akan memakannya.” Anndora melantunkan kalimatnya sedikit lebih mantap dari sebelumnya.
Dengan memejamkan mata, Anndora membuka mulutnya lebar-lebar dan Denny melompat masuk ke dalamnya. Gelembung-gelembung air mata mulai membanjiri tubuh Anndora, perlahan ia menutup mulutnya dan menelan apa yang ada didalamnya. Pahit atau manis hampir tak tersisa, yang terasa hanyalah resapan air mata.

“Sampai kapanpun aku akan mencintaimu, Aku akan hidup meskipun di dalam organmu. Karena di sanalah dapat ku resap cintamu dan kunikmati alunan kasih terdalamu.”

-untuk yang mencinta, tapi tak kuasa mendapat-
Read More... Biarkan Aku Jadi Ularmu

Thursday, June 30, 2011

Rel Mesin jahit

Pagi ini begitu sunyi, tak seperti biasa, selalu ada suara anyaman besi pada kaki mesin jahit yang dipijak. Greyat-greyot digenjot kaki yang dipenuhi tonjolan otot. Pagi ini begitu senyap, tak seperti biasa, ada suara berisik dalam gelap. Suara mesin jahit ibu, suara yang pertama kali singgah di gendang telingaku.
“Seharusnya kau malu pada telingamu, mengapa justru suara mesin Ibu yang kau dengar pertama kali, mengapa bukan suara adzan pagi ?”
Kalimat yang dilontarkan ibu setiap kali Lena menggerutu karena berisik itu kembali terngiang di telinga Lena. Pagi ini suara yang pertama kali masuk ke telinganya adalah desah napasnya sendiri. Lena melangkah menuju mesin jahit portable di sudut ruang tengah, mesin itu masih “tertidur” di dalam bungkus sejak dibeli seminggu lalu, hadiah ulang tahun ibu. Sayang, belum sempat ibu mecoba mesin jahit barunya itu. Peristiwa terjatuh di kamar mandi ketika ibu sedang munjuk , menyebabkannya tak sadarkan diri hingga sekarang, menjadi pasien dengan diagnosa gejala stoke yang sudah tujuh hari menginap di Bangsal Sederhana, bangsal khusus pengguna ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Miskin).
Seminggu lalu, baru tujuh hari yang lalu Lena melihat ekspresi wajah ibu yang tak biasa ketika menyadari mesin jahit genjotnya telah beralih menjadi mesin jahit listrik yang tentu akan meringankan kakinya. Lena belum sempat melihat kebahagiaan wajah ibu, kejadian saat itu begitu cepat. Kilasan kisah yang sangat Lena ingat adalah setelah menerima hadiah dari Lena ibu pamit ke kamar mandi.
Dari sanalah semua bermula.

Pagi itu, Lena bangun jauh lebih pagi dari biasanya. Pagi itu pula untuk pertama kalinya Lena mendengar adzan pagi—suara yang pertama kali Lena dengar setelah bangun tidur. Pagi itu, hari ulang tahun ibu.
Sepagi itu, Lena memerintahkan kakinya menuju mesin jahit genjot di sudut ruang tengah, jemarinya meraba bagian badan mesin yang sekilas bentuknya mirip huruf G dengan rongga di bagian atasnya. Tangannya kemudian meneteskan pelumas pada lubang-lubang kecil yang terdapat di landasan mesin itu. Seperti yang biasa dilakukan ibu. Badan mesin itu kemudian Lena lipat ke bawah meja, memenuhi ruangan di dalam meja kayu yang memang diset khusus sebagai wadah badan mesin. Lena pun mengakhiri sesi beres-beresnya dengan melipat daun meja yang menjuntai kaku, seperti meja panjang, di bagian kiri mesin.
Selanjutnya, Lena memanggil tukang mesin jahit yang dijadikan partner dalam misinya kali ini. Tanpa menimbulkan suara sama sekali tukang itu berhasil masuk ke dalam rumah, membawa mesin jahit portable yang dipesan Lena. Tukang itu pun, membawa mesin jahit genjot ibu yang dijual Lena. Sepagi itu, rencananya terbilang tanpa cacat, mulus. Sampai ketika ibu bangun, ibu terkesiap melihat seonggok mesin jahit baru di tempat mesin jahitnya yang lama.
“Selamat ulang tahun ya, Bu...” Lena memeluk ibu dari belakang, memutar tubuhnya ke depan lalu mempersembahkan senyum terbaiknya kepada ibu.
Ibu memandang Lena lekat, merengkuh wajah putri semata wayangnya yang mulai dewasa dengan kedua telapak tangannya yang mulai kuyu. Ibu tersenyum kecil.
“Terima kasih, anakku.”
“Sekarang kaki Ibu gak akan pegel-pegel lagi kalau habis menjahit. Mesin ini gak perlu digenjot, hehe” kata Lena polos.
Ibu tidak menanyakan ke mana mesin jahit lamanya.
Ibu tersenyum lagi, lalu pamit ke kamar mandi.
Dari sanalah semua bermula.

Lamunnya disudahi dengan setetes air mata. Lena ingat betul, betapa teduhnya senyum ibu di pagi yang—ah, entah itu pagi indah atau tidak—merupakan hari ulang tahun ibu, Lena ingin sekali melihat senyum seteduh itu lagi dari balik wajah ibu, seutas senyum yang keteduhannya mengalahkan tetesan embun di ujung gersang. Mendadak ketakutan menyergapnya, Lena takut jika senyum itu adalah senyum terakhir ibu.
Ponselnya bergetar.
“Hallo, Assalamualaikum?”
Wajah Lena seketika pias, kabar dari rumah sakit membuatnya panik.

Lena mengayuh sepedanya cepat, terbiasa menjadikan sepeda sebagai alat transportasi utama semenjak sekolah dasar membuatnya lihai meliuk-liuk di jalanan. Dari SD Lena sering diajak almarum ayahnya bersepeda mengelilingi Kota Tegal sehingga kini pun Lena hapal semua “jurus” bersepeda yang diwariskan ayah. Mengayuh cepat bukan apa-apa bagi Lena, itu terlampau mudah. Lena teringat kata ayah, “Angin mengikuti kayuhanmu, jika kau cepat angin pun cepat mendatangimu, membantumu.”
Suara dari balik telepon tadi seolah menyusuri lubang telinga bersama angin yang mendorongnya berjalan. Lena semakin kuat, tak peduli dengan puluhan klakson kendaraan bermotor yang dongkol atas caranya berkendara. Tak peduli pula dengan polisi yang meneriakinya lantaran seenaknya saja menerobos lampu merah. Lena tak peduli sekeliling, Lena hanya percaya pada angin yang akan membantunya cepat sampai kepada ibu. Angin semakin mendorong kayuhannya untuk mencapai senyum ibu, semoga.
“Lhoo liit... lhoo liit... lhoo liit...”
Lena panik, mendengar sirine kereta api yang dikeluarkan palang lintasan di samping Pertamina Tegal. Lena punya waktu semenit untuk menerobos rel kereta sebelum palang itu benar-benar memalang jalan. Mengejar lima puluh meter. Segala tenaga dikerahkan, tak ingin kehilangan waktu barang sedetik pun supaya cepat melihat wajah ibu. Nyaris, Lena terpalang.
“Lhoo liit... lhoo liit... lhoo liit...”
Lena kebas, tak mampu menerobos, terlambat tiga detik.
Tubuh kemlokonya pias.
Lena menggenggam ujung stangnya kuat-kuat, menahan kedua kakinya yang bergetar, letih. Ternyata benar, rasa lelah baru mulai ketika kita berhenti.
“Sial. Langsir !” Lena gusar. Sudah diakui oleh sebagian masyarakat Kota Tegal yang tinggal di sekitar Pertamina bahwa kereta paling menyebalkan adalah kereta langsir. Selain selalu muncul di saat-saat genting—jadwal kemunculannya sekitar pukul 06.30; 12.30; dan 16;30—kereta ini juga terkenal dengan keleletannya, apalagi di rel kereta di depannya ini yang langsung menuju ke Pertamina. Minyak-minyak di dalam gerbong berbentuk silinder itu akan dimasukkan ke ruang penyimpanan. Masinis yang mengemudikan endas-endasan kereta, dengan sangat hati-hati alias pelan sekali mengandeng puluhan gerbong minyak di belakangnya. Melintasi rel yang menembus gerbang besi kemudian melepas gandengannya satu demi satu.
Lena menghembuskan napas tiba-tiba, kesal. Jika gandengannya mudah dilepas, paling cepat kereta ini akan berlalu selama dua puluh menit, paling lama Lena harus menunggu lebih dari setengah jam. Tidak ada pilihan lain, tidak ada jalan lain lagi.
Endas-endasan kereta sudah memasuki pintu gerbang besi, di belakangnya ada berpuluh-puluh silinder raksasa berisi minyak yang siap disimpan. Lena menatap lekat-lekat setiap bagian kereta itu. Matanya tertahan pada roda kereta api yang berjalan amat lambat, ada banyak mesin-mesin yang mejalar di bawah kereta, terhubung dengan roda itu tadi. Begitu rumit pemandangan bawah kereta yang Lena lihat, tapi Lena tetap pada kesimpulan bahwa roda itu bundar dan roda itu berputar. Seperti roda mesin jahit genjot ibu. Entah angin apa yang membuatnya jadi ingat.
Sembari menatap roda kereta, sembari teringat roda mesin jahit ibu, suara sirine yang khas dimiliki palang kereta Petamina Tegal itu semakin jauh dari telinganya.

Setelah Lena menyantap suapan terakhir, ibu ke belakang untuk menaruh piring kotor dan barangkali sekalian mencucinya. Iseng, Lena kecil mendekati mesin jahit ibu, kaki kanannya menekan anyaman besi di kaki mesin, keras. Lena kecil tak kehabisan akal, Lena kemudian meminta bantuan kaki kirinya untuk turut menekan—menggenjot—anyaman besi itu, memberi sedikit tenaga dan berhasil, roda di samping lutut kananya berputar. Wajah polosnya terkikik puas ketika menyaksikan roda kecil di atas meja mesin yang melekat pada bagan mesin (kepala mesin) di depannya juga ikut berputar.
“Lena?” kata ibu dari dalam.
Yang dipanggil terkikik saja. Tidak begitu dengar.
“Ah, kamu toh, kirain siapa yang mainan mesin jahit.”
Takut-takut Lena berhenti menggenjot, lekas Lena merengkuh kedua kaki ibu sebagai isyarat permintaan maaf atas kelancangannya. Lena lalu meraih botol susu yang diisi air teh manis dari genggaman ibu.
“Tidak apa-apa, ayo sana main lagi!” Ibu melepas jarum jahit yang melekat pada mesin lalu berkata ceria, mengerti perasaan Lena.
Sejak saat itu, setiap pulang sekolah, setelah mengganti seragam merah putihnya—kata ibu kalau gak ganti nanti kena oli—Lena punya mainan baru, menggenjot mesin jahit ibu. Setiap hendak menjemput Lena tak lupa ibu selalu melepas jarum jahit di mesinnya, ibu tak mau Lena terluka.

Sirine kereta api kembali mendekati telinganya, Lena telah melewatkan tiga gerbong memasuki gerbang besi ruang penyimpanan. Gerbong yag tersisa masih panjang sementara matahari semakin panas, Lena bertambah was-was. Lena kembali menatap roda-roda kereta di depannya sampai Lena sadar satu hal: roda mesin jahit ibu sudah tidak ada di rumahnya.

Setelah mahir menggenjot, ibu menawarkan Lena sebuah tantangan baru dalam “mainannya”.
“Lena tahu gak, kalau kaki Lena menginjak mesin ini ada berapa roda yang berputar?”
“Dua! Di sini...” Lena kecil menunjuk roda besar di samping lututnya, “...dan di sini!” lalu jemarinya memegang roda kecil di hadapannya.
“Pinter anak ibu! Nah, sekarang Lena coba genjot ini mesin, tapi biar roda yang di depan Lena ini muternya ke depan terus, jangan maju mundur. Lena bisa?”
Lena mencoba, ternyata tak mudah. Sebelum menggenjot Lena menuruti nasihat ibu, memutarkan roda di depannya ke depan dulu sebelum kakinya ikut menggenjot. Roda itu pun akan terus berjalan ke depan, namun ketika Lena berhenti menggenjot dan roda berhenti berputar, untuk memutarkannya agar maju lagi itu tidak mudah. Kadang roda Lena berputar maju, ke depan, lalu kadang-kadang malah mundur.
Sekali lagi, Lena kecil terkikik, merasa tertantang. Sekarang “mainannya” tak sekadar menggenjot saja, tapi menggenjot dengan benar.

Debum suara gerbong yang saling bergesekan mengagetkan Lena, memaksanya kembali menjeda kilatan kisah kecilnya bersama mesin jahit ibu. Rangkaian gerbong di depannya masih saja berjalan, lambat. Membuatnya kembali tengingat bahwa setelah Lena berhasil menguasai teknik menggenjot dengan baik, ibu sudah mengizinkan Lena menjahit kertas. Ya, bukan kain, melainkan kertaslah yang dijahit Lena.
“Nah, kalau muternya sudah maju terus, kamu bisa mulai mengeceknya menggunakan kertas. Taruh kertas ini di sini, lalu genjot. Ingat ya, kertasnya harus berjalan menjauhi kamu.” Siloet senyum teduh ibu kembali mengusik batinnya. Tergambar jelas Lena sedang menjahit bagian tengah semua buku-bukunya yang terlepas. Lalu dengan bangga ibu memberikan nilai sepuluh atas hasil karyanya.
Hingga akhirnya Lena bisa menjahit kain dengan baik.
Sungguh, Lena sangat ingin pergi dari sini. Lena tak ingin menunggu lagi. Namun, kereta itu tak kunjung pergi.
Roda-roda yang menggesek rel itu mengingatkannya, kegiatan menjahit kertas merupakan hal paling berkesan dalam hidupnya yang melibatkan ibu. Hanya Lena dan ibu yang mengalami sepotong pengalaman unik ini, barangkali tidak ada manusia di muka bumi ini yang mengalami pengalaman yang sama.

Kenangan demi kenangan itu terus melesat di kepala Lena alih-alih rel beku di depan sana makin aus saja bergesekkan dengan roda-roda kereta yang berjalan amat lambat. Entah kenapa, selalu ada desir aneh setiap satu ingatan masa kecilnya dulu menyembul di pelupuknya. Guratan wajah ibu yang damai, pesona kecilnya yang polos, dan mesin jahit genjot itu tiba-tiba saja terasa begitu istimewa dalam satu peristiwa.
Lena kini begitu mahir menjahit, bulan depan Lena mulai bekerja di sebuah butik ternama di Jakarta, menjadi ibu peri yang menyulap busana spektakuler dalam sebuah kertas menjadi busana megah yang benar-benar nyata.
Dari sanalah semua bermula. Dari mesin jahit ibu.

Palang kereta terangkat, orang-orang bebas lewat.
Lena memutar sepedanya cepat, mencoba menembus kerumunan kendaraan yang hendak menerobos rel kereta yang sedari tadi ditutup. Lena putar balik, melawan arus.
Lena siap menyelamatkan mesin jahit ibu, karena dari sanalah semua bermula. Kebermulaan yang terlupa.
Ponselnya bergetar lagi, Lena menepi. Satu SMS masuk.
Sekali lagi kabar dari rumah sakit membuat Lena bertambah-tambah panik.
Read More... Rel Mesin jahit

Thursday, March 31, 2011

Blackberry Menangis

Di zaman yang sudah modern, kucing pun bersekolah. Mereka tinggal bersama di asrama setelah selesai sekolah. Pada suatu hari, seorang murid kucing yang nakal bernama Babah mengajak teman-temannya membolos pelajaran Matematika. Babah memamerkan handpone (HP) blackberry-nya yang baru saja dibelikan papihnya. Kucing-kucing lain menyukai HP baru Babah karena tombol-tombolnya yang berbeda dengan HP biasa. Banyak kucing yang mengikuti ajakan Babah untuk membolos, beberapa di antaranya Huhu, Fafa, dan U ul. Mereka mengikuti ajakan Babah ke kantin asrama. Mereka bergantian memainkan aplikasi yang ada di HP Babah.
Di dalam kelas, Bu En en heran karena murid yang datang hanya sedikit. Ia bertanya kepada Mochoi, sang ketua kelas tentang keberadaan teman-temannya.
“Ke mana teman-temanmu yang lain Mochoi? Mengapa hari ini hanya sedikit yang hadir?”
“Meong, maaf Ibu, teman-teman sedang bersama Babah di kantin asrama.” Mochoi menjelaskan kepada Bu En en, guru Matematika mereka.
“Maksudmu mereka membolos?” meskipun cahaya terang, pupil mata Bu En en membesar. Dia pasti sangat terkejut.
“Iya, Bu…maafkan Mochoi ya Bu, sebagai ketua kelas Mochoi tidak bisa mencegah teman-teman untuk tidak membolos.”
“Yasudah, kalau begitu kamu tolong antarkan Ibu ke kantin sekarang.”
Di kantin, Babah sedang duduk dengan setengah mata tertutup. Ia memutar sedikit telinganya ke samping. Ini artinya Babah sedang tidak ingin diganggu. Bu En en dan Mochoi tidak bisa melihat Babah karena tertutupi oleh teman-teman lain yang mengelilinginya. Mochoi sudah memanggil-manggil nama Babah, tetapi dia pura-pura tidak mendengar. Huhu, Fafa, dan U ul pun demikian, mereka tidak memerdulikan Mochoi dan Bu En en yang sejak tadi memperhatikan mereka.
Huhu, Fafa, dan U ul sebenarnya kucing yang baik, tetapi mereka terpengaruh dengan ajakan buruk Babah. Ketika Bu En en memanggil mereka, mereka malah mengarahkan telinganya ke depan. Mereka juga membuka mata lebar-lebar. Bu En en sedih, melihat muridnya lebih senang bermain bersama Babah yang nakal daripada mengikuti pelajarannya.
Dari ekspresi Bu En en yang juga mengarahkan telinganya ke depan, lalu memutar ke belakang, disusul dengan mengecilkan pupil mata, Mochoi tahu Bu En en sedang marah. Mochoi mengikuti dari Bu En en dari belakang. Bu En en siap memarahi Babah. Ketika sampai di meja kantin, Bu En en ingin melihat mainan apa yang sedang diperebutkan. Begitu Bu En en mengetahui benda itu adalah HP blackberry, wajah Bu En en berubah sedih. Ia lalu mengeong panjang.
Bu En en menangis tersedu-sedu di hadapan anak-anak. Anak-anak bingung sambil terus mengeong.
“Ada apa dengan Bu En en?” Tanya Babah merasa bersalah.
Bu En en tak mau menjawab, ia lari ke luar kantin. Sebagai ketua kelas Mochoi merasa perlu tahu apa yang sedang dialami Bu En en. Mochoi mengejar Bu En en, tetapi Bu En en berlari jauh lebih cepat darinya.
Mochoi kemudian mengumpulkan teman-temannya untuk membahas masalah ini. Bu En en adalah guru yang tegas. Ia tidak pernah menangis. Biasanya dia akan memarahi Babah jika Babah berbuat nakal. Semua kucing penasaran tentang sebab mengapa Bu En en menangis.
Keesokan harinya, barulah Mochoi tahu dari Kepala Asrama Kucing ternyata Bu En en baru saja kehilangan adiknya. Adik Bu En en meninggal ketika membelikan kado untuk ulang tahun Bu En en. Kado yang akan diberikan adiknya itu adalah sebuah blackberry, seperti kepunyaan Babah. Itulah sebabnya mengapa Bu En en sangat terpukul. Bu En en teringat akan adik yang sangat ia sayangi.
Sejak saat itu Babah menyesal dan berjanji tidak akan nakal lagi. Begitu pula Huhu, Fafa, dan U ul, mereka pun berjanji tidak akan mengikuti tindakan Babah yang tidak terpuji.
Read More... Blackberry Menangis

Sunday, February 27, 2011

Ketika Sintesa Berkisah #6

Kisah Kecil Uwi Kecil



Bundaran merah di ufuk timur baru saja menyembul keluar, mengendap-endap di tengah nuansa Minggu yang melenakan semesta. Anak-anak lekas berkumpul di halaman rumah Radit tanpa komando. Ini adalah sebuah rutinitas tak bersyarat yang dilakukan anak-anak Kelurahan Slerok, Kota Tegal. Sebuah kelurahan yang cukup strategis, mengingat letaknya dekat sana-sini. Mulai dari Gedung Olahraga (GOR), Stasiun, Alun-alun Kota, Masjid Agung, SD sampai SMA unggulan dapat dengan mudah dijangkau dari kawasan ini. Berawal dari kebiasaan orang-orang memenuhi kebutuhan mereka dengan menyerok pasir dari dasar Kali Perpil, sebuah sungai yang kerap menyimpan kisah-kisah mistis di sepanjang alirannya. Akhirnya daerah di sekitar sungai ini dinamakan Slerok, berasal dari kata nyerok tadi yang berarti keruk, mengeruk.

Di satu-satunya pelataran rumah yang berkeramik, anak-anak itu mulai mengumpulkan properti yang sudah dipersiapkan. Terjuntailah sebuah selendang merah dengan motif plokadot warna orange yang mereka namakan selendang Anjali. Rupa-rupanya doktrin hollywood sedang melanda anak-anak ini. Untuk mencari selendang yang mirip dengan yang dipakai tokoh Anjali dalam film Kuch-Kuch Hota Hai ini mereka sampai mengadakan semacam audisi. Bagi yang memiliki selendang (mirip) Anjali ini akan bebas memilih mau jadi apa di setiap permainan mamahan yang sering mereka gelar. Selendang Anjali itu ditemani ceplik, lampu minyak yang dibuat sendiri oleh pemiliknya.

Kami siap main.



Permainan khas anak Slerok adalah mamahan, kalau di-Bahasa Indonesiakan menjadi rumah-rumahan. Modus permainannya sama seperti bermain peran, anak-anak Slerok memainkan drama kecil seputar kehidupan rumah tangga orangtua mereka. Tidak ada skenario khusus di sini, hanya setiap anak harus siap menjadi sutradara ketika nasib sial hom pim pah menuntut mereka untuk mengisahkankan bagaimana kehidupannya di rumah. Kemudian, anak yang bernasib malang itu harus rela melihat rekannya memerankan bapak-ibu mereka dengan gaya yang tidak sebenar-benarnya, melainkan dengan penambahan yang tidak seperlu-perlunya!

"Hom Pim Pah Alaihom Gambreng!" Dari lima tangan mungil yang terjulur, ada satu yang memperlihatkan punggung tangannya sementara empat yang lain menengadahkan telapaknya.

“Uwi!!!” teriak Jono, Radit, Muslim, dan Devi bersamaan.

“Gak bisa donk! Kan di aku ada aku, ibu, bapak, Ratna, Komar, sama Jaka. Ceweknya kurang!” protesku,

“Hm, iya sih... Jono aja deh! Kan pas tuh!” celutuk Muslim diamini Radit dan Devi.

“Lah, daning nyong maning???”[1]

“Hahahaha....”

Jono memang selalu menjadi bulan-bulanan kami, sifatnya yang riang dan tak mudah tersinggung membuat teman-teman begitu menyayanginya. Kami tidak semangat bermain jika tidak ada Jono karena tak ada yang bisa “dianiaya”. Permainan paling seru memang kalau memerankan keluarga Jono. Aku dan kawan-kawan akan memaksa Jono berpura-pura seperti ayahnya yang apabila bersin selalu berbunyi “Tempe!” atau “Tahu!” bahkan “Dage!” dan Jono tak pernah kuasa menolak permintaan kami. Kadang oleh kami dia dipaksa mempraktekkan adegan bersin itu sampai menimbulkan bunyi “Daging Ayam!”

Mamahan ini kalau tidak dilakukan di beranda rumah Radit yang besar, kadang di dalam sentong, yaitu sekat kecil yang memisahkan antara dua rumah yang bersebelahan. Hanya saja kami harus waspada alih-alih suara berisik kami membuat si pemilik rumah akan melayangkan ember berisi air bekas cucian beras. Kadang sampai dua ember sekaligus, melayang dari sisi yang berbeda.

Pagi itu yang bermain peran hanya Jono, yang lain terpingkal-pingkal.

Saking akutnya jiwa mamahan itu, lama-kelamaan kebiasaan ini merambah ke luar bidang rumah tangga. Hampir setiap ada adegan yang menarik selalu kami lakonkan, tak jarang terlibat pertengkaran sengit demi memperebutkan peran untuk memainkan salah satu personil power rangers.

Buah penyakit akut ini adalah surga-surganan. Permainan ini dilakukan setelah selesai mengaji di rumah Pak Ustad, kami akan mempraktekkan ceramah Pak Ustadz dalam sebuah teater. Dalam permainan itu kembali Jono yang kena sial, dia harus memerankan preman pasar yang durhaka pada orangtuanya, begitu pula Radit. Radit merupakan satu-satunya anak mamah di kampung kami, yang lain anak ibu dan emak. Sementara aku berhak memilih menjadi anak sholeh yang masuk surga karena sayembara Selendang Anjali tempo hari dimenangkan olehku. Radit dan Jono akan gagal melewati jembatan siratal mustakim karena semasa hidupnya jarang salat dan suka batal puasa. Aku sendiri bebas menggantung di pohon mangga tetangga—yang diibaratkan pohon di surga—yang di bawahnya mengalir sungai susu. Muslim dan Devi masing-masing menjadi algojo neraka dan pelayan surga.



Desir angin menerpa mukaku, aku tersadar dari ingatan yang menyelam ke dasar malam.

Hari ini Radit mengajakku duduk di batu hitam yang terletak di pojok tikungan, di ujung sentong. Dulu kami membayangkan batu Hajar Azwad yang sering diceritakan Pak Ustadz ya seperti batu ini, tetapi Ka’bahnya sudah jelas tidak seperti bangunan di sebelahnya, rumah almarhumah Mbah Royah.

“Ini mah bukan Ka’bah...masa Ka’bah pakenya geribik[2] trus penyot-penyot lagi, hampir rubuh! Hahaha....” Radit kecil berkelakar, kami semua menyetujui dengan ikut tertawa.

Mendengar celotehan kami Pak Ustadz marah-marah lalu menghukum kami untuk membelikan bubur Mbah Royah setiap pagi.



“Inget gak, kita dulu pernah ‘nikah’ di sini.” Setelah sekian lama terhanyut dengan lamunan masing-masing, Radit mengeluarkan sederet kalimat yang membuatku kikuk.

“Hahaha, iya. Lucu sekali yah! Cincin plastik yang kau jadikan sebagai maskawin kupaksakan masuk di jariku. Dapet dari mana sih?”

“Iya! Iya! Terus kamu kesakitan kan waktu mau nglepas tu cincin, sampai pake sabun sama minyak lentik[3] segala. Itu hadiah cikki tau!”

“Dan akhirnya cintin itu kupotong dengan pisau, nyaris mengenai jariku!”

Radit tertawa lepas.

Kami terdiam lagi, menonton upacara “pernikahan” itu di layar angan-angan.



Kami siap main

Aku dan Radit kecil duduk berdampingan, Selendang Anjali menutupi kedua kepala kami. Di depan kami sudah dinyalakan api dari ceplik kecil yang dibuat dari bekas botol kratingdaeng. Simbol api suci.

Para penonton menikmati suguhan suara Devi yang berdandan layaknya Krisdayanti. Rambutnya diikat ke atas menggunakan pita panjang yang terjuntai-juntai tertiup angin, sepatu hak tinggi ibunya membuatnya harus bersandar di tembok untuk menguatkannya berdiri. Suaranya ia lengking-lengkingkan semirip diva pop itu, lagu yang dibawakannya adalah Bagimu Negeri!

Sungguh suasana pernikahan yang menggoda tawa. Selepas lagu Devi, kami disuruh berdiri kemudian selendang anjali itu diikatkan pada kedua lengan kami. Prosesi selanjutnya kami harus mengitari api suci sebanyak tujuh kali dan para penonton menaburi kami dengan bunga melati yang dicampur daun mangga yang telah disobek-sobek. Persis seperti ketika Rohul dan Anjali menikah dalam Kuch-kuch Hota Hai.



Aku terkikik.

Radit juga.

“Kalau suatu saat kita nikah beneran gimana yah?”

Seketika mukaku merah padam, aku merona malu tanpa jawaban. Radit memandangiku yang sedang malu tanpa mengajukan pertanyaan lagi. Aku yakin dia tahu apa yang telah melanda hatiku.



Pagi ini kami habiskan bersama kenangan masa kecil yang terlampau indah. Tentang surgaku dan nerakanya, dan surganya dan nerakaku di kehidupan nyata.



“Mas Radit karo Mba Uwi pacaran yah? Cie... cie... cie...” anak kecil zaman sekarang, yang tak pernah merasakan indahnya sensasi mamahan, dapat dengan cepat mengetahui hubungan kami.

Kami berdua saling pandang, cengar-cengir.

***



Radit keluar kamar mandi dengan tubuh wangi. Dia sudah rapi dengan setelan baju terbaiknya. Di atas kasur, ponselnya masih bicara sendiri.

“Eh, Mama masih di situ yah?”

“Kebiasaan deh ni anak. Habis ngapaen sih?”

“Mandi, hehe”

“Kok cepet?”

“Biarin yang penting wangi!”

“Emang mau ke mana? Jangan lupa belajar lho, beneran niat masuk UI kan?”

“Iya Mamaaaa!”

Klik!







[1] “Yah, kok aku lagi?”



[2] Bilik bambu yang dianyam



[3] Minyak sayur
Read More... Ketika Sintesa Berkisah #6

Ketika Sintesa Berkisah #5

Kepada Ibu



Pagi ini sedikit gerimis. Mungkin sisa-sisa hujan malam tadi, musim ini sering kali begitu, tiba-tiba tanah fajar sudah lembab. Ketika ditanya kapan datang, basahan air langit itu tak mampu menjawab. Tenaganya sudah habis dibuat mengguyur bumi semalaman. Hanya mampu membentuk genangan bisu yang tak kuasa mengerti mengapa ia datang malam-malam.

Perempuan paruh baya itu sedang berkencan pagi dengan buih sabun yang membentuk kilasan awan cumulus bercampur gelimangan baju kotor di dalam ember. Sebelum subuh, seember pakaian yang beraroma tubuh anak-anaknya ia harapkan sudah berjemur di bawah pancaran matahari yang malu-malu mau keluar. Masih banyak aktivitas kencan paginya yang lain selain bersiap diri menekan dynamo mesin jahit. Beradu cepat untuk mendapat “barang” paling banyak, mengeruk jatah jahitan hari ini.

Nasib seorang buruh borongan, siapa yang kuat menjahit banyak dialah yang bawa uang banyak.

Baju Komarlah yang paling banyak menceburkan diri di luapan busa yang menjadi tutup ember. Anak ini memang paling sering gonta-ganti baju. Ia sengaja memisahkan baju Komar dari cucian lain karena saat ini anak bungsunya itu sedang pilek—apa hubungannya? Hobi Komar adalah menjadikan kaos bagian depan perutnya sebagai sapu tangan. Sesudah selesai makan gorengan misalnya dia akan mengelap tangan mungil penuh minyak itu pada kaosnya. Ia pun terbiasa mengelap wajahnya yang penuh peluh dengan “sapu tangan” berjalannya. Apalagi kalau sedang pilek, tak jarang dia membuang ingus seenaknya saja di sana. Jorok, seperti almarhum ayahnya. Kadang wanita itu mendengus kesal, tetapi ia pun akan tersenyum sendiri karena baju kotor anak ini mengingatkannya pada saat-saat awal pernikahannya. Ketika dia uring-uringan mencuci baju suaminya sendiri karena tak terbiasa mencuci pakaian lelaki yang umumnya menyerap banyak deterjen. Kadang ia pun merasa bersalah karena tak sepenuhnya dapat memberikan perhatian kepada anak bungsunya. Sejak kepergian suami tercinta lima tahun lalu, dia terpaksa menitipkan Komar pada mertuanya selama ia bekerja sebagai buruh menjahit sarung di pabrik. Meskipun embah tak kurang kasih sayang, ia tetap merasa hal ini tak adil bagi Komar. Anak bungsunya itu tak mendapat belaian mentari ibu seperti ketiga saudaranya yang lain. Jika sekarang Komar lebih nyaman makan dari suapan embahnya, tidak ada yang bisa disalahkan.

Kalau baju Jaka malah yang paling sedikit. Sepulang sekolah ia selalu mampir ke Perpustakaan Daerah, mengerjakan PR-PR-nya di sana. Kalau di rumah gak konsen, begitu katanya. Dia baru sampai rumah pukul lima sore, mengganti baju yang besok sorenya dipakai lagi. Kalau tidak disuruh ganti dia tak akan mengganti bajunya. Entahlah, kadang tingkah laku orang pintar memang aneh. Baju Jaka selalu bersih, ia tidak perlu mengeluarkan tenaga super untuk mengucek noda di salah satu bagiannya. Paling hanya bagian kerahnya yang perlu disikat, terang saja akan banyak garis-garis coklat pada kain yang berjam-jam—berkali-kali—menempel di lehernya yang berpikir.

Ratna suka meninggalkan uang di kantong bajunya. Dari sana dia tahu bahwa putrinya yang satu ini jarang membeli jajan di sekolah. Jika dia mencuci hari Rabu, ia akan menemukan uang Rp8.000,00 yang kedinginan dalam saku rok SMP-nya. Dia miris, dengan bekal uang saku Rp3.000,00 setiap hari berarti Ratna hanya menghabiskan Rp1000,00 selama tiga hari. Ia menyisihkan uang basah tadi ke tempat sabun di sampingnya. Terkadang dia suka berkelit hati dengan membuat semacam woro-woro kepada anak-anaknya perihal kasus ini. Barang siapa meninggalkan uang di kantong baju atau celananya berendam di dalam air sabun, maka hak milik uang tersebut beralih kepadanya. Protesan anak-anaknya terlebih Ratna membuatnya semakin miris. Lalu ia pun semakin tegas mengetatkan peraturan itu dengan alasan terselubung: tidak ingin menyaksikan lagi kenyataan atas sikap irit yang melanda anak-anaknya. Tubuhnya tersenyum kecut setiap kali menjemur pecahan seribuan basah di atas magic jar hadiah almarhum suaminya.

Seandainya ibu mampu, Nak.

Kini giliran baju putri sulungnya, Uwi. Bagian pantatlah yang menjadi perhatiannya kali ini, anak ini tak pernah memperhatikan kondisi alas duduknya, asal duduk saja. Tidak peduli itu kotor atau bersih. Susahnya, rok yang kotor sejak pagi itu tidak langsung dibawa ke tempat cucian, malah dibiarkan tergantung di kastok baju kamarnya. Setelah tiba masanya dia memunguti baju kotor di tiap kamar anaknya, barulah ketahuan akan nada noda membandel yang sulit dibersihkan. Untuk mencucinya dibutuhkan sabun mandi agar noda yang membandel itu cepat menguap.

Adzan subuh menggema di bilasan terakhirnya, dia mengucap syukur.



“Subuh! Ayo bangun! Siapa yang mau dikucir duluan?”

Aku merebut bantal guling yang semula terdekap erat oleh Ratna. Mataku merem melek mendengar suara ibu, melihat Ratna yang masih pulas aku lekas beranjak.

Aku yang dikucir duluan.

Selepas subuh aku duduk manis membelakangi ibu, sudah mandi. Aku duduk di lantai sementara ibu duduk di atas jengkok[1], siap menghias mahkota kepalaku. Hari ini aku dan Ratna beradu bangun cepat agar bisa dikucir ibu, bagi kami merasakan belaian tangan ibu melalui sebatang sisir adalah hal yang teramat istimewa. Apalagi setelah ayah meninggal dan ibu memutuskan untuk bekerja, jatah menyisiri kami jadi berkurang. Kalau dulu ibu masih sempat melayani dua putrinya yang minta dikucirkan rambutnya dengan model tertentu, sekarang sudah tidak lagi. Ibu cuma punya waktu sedikit di pagi hari, itu pun beliau harus bangun lebih pagi dari biasanya. Sebenarnya kami tak tega kalau harus meminta ibu untuk menyisir rambut kami, toh kami ini sudah bukan anak kecil lagi. Namun, sekali waktu ibu akan menawarkan diri untuk menyisir salah satu rambut kami dan salah satu dari kami akan berjuang untuk mendapatkan kesempatan langka itu.

“Mau dikucir apa?”

“Satu di tengah, tapi disisain yah,” ujarku sambil memilah-milah buku catatan Matematika, hari ini ada jam tambahan ke-0. Aku menikmati sentuhan jemari ibu yang kaku lantaran terlalu sering bersentuhan dengan kain-kain sarung yang dipenuhi zat pewarna pakaian. Setiap hari ibu balapan untuk menjahit sarung sebanyak-banyaknya untuk mendapat upah yang banyak pula.

Kulit kepalaku merasakan kekasaran telapaknya.

Aku menyelinap ke dalam lembar-lembar rumus matematika yang tertoreh di lembar buku tipisku—tidak seperti teman lain yang umumya menggunakan buku tebal untuk pelajaran matematika. Sekelebat tulisan perombak nalar itu menyembul dibalik lembar licinnya. Aku menutup mata, meminta kekuatan entah pada siapa. Kuambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan,

“Bu…” gumamku,

“Ya?”

“Uwi pengen masuk UI”

Aku merasakan desiran tangan ibu berhenti. Ikatan tali rambut yang seharusnya dilingkarkan pada rambut yang terkumpul mendadak macet. Aku mengaduh.

Ibu sadar jemarinya yang berhenti menarik rambutku membuatku sakit, lalu dia melanjutkan mengikat tanpa menjawab pernyataanku.

“Wis, maem ndisit yuh,”[2] kata ibu sembari beranjak, meninggalkan sisir dan kotak pita di sampingku. Biasanya ibu akan turut membawa dan membereskan semuanya, kali ini tidak dan aku tidak tahu alasannya.



Kami sekeluarga sarapan ponggol, nasi bungkus yang lauknya sambal goreng tempe ditambah mie hula-hula yang dibumbu merica bawang putih. Di ruang tamu yang merangkap ruang makan juga ruang keluarga ibu menatap kami disela suapannya. Aku merasa tatapannya ke arahku lebih lama dibanding Jaka dan Ratna.

“Bu, kakak kelas Uwi ya kuliahnya cuma bayar seratus ribu lho….”

Ibu menghentikan tangannya di udara, melirikku sebentar lalu kembali memasukan makanan tadi ke mulutnya.

“Itu per semester, tiap enam bulan.”

Ibu tetap tak bergeming,

“Trus ya Bu, kalau di UI itu ada yang namanya BOP Berkeadilan. Jadi bayarnya sesuai kemampuan orangtua Bu, kalau yang bener-bener gak mampu bisa gratis!”

Ponggol ibu habis, ia meremas bungkus ponggol itu dengan jemarinya yang kotor oleh sisa nasi dan lauk yang menempel.

Ibu meremas bungkus ponggol itu sembari melihatku nanar lalu melangkah keluar.

Aku turut berkemas, siap berangkat. Sampai bibir pintu ada angin menerpaku, sejuk yang mendingin. Ah, aku merasa ini tak begitu baik. Apa karena tubuhku terlalu lemah untuk menampa angin? Padahal aku merasa sudah cukup dengan selalu tersenyum pada daun yang runtuh.

Matahari itu kejam, menukik-nukik hawa panas di tengah serpihan angin yang menyisir. Ini masih terlalu pagi untuk kemunculannya. Seharusnya hujan semalam tidak membuatnya bangun cepat. Matahari itu membuatku semakin pilu.

Aku mencium punggung tangan ibu, takzim. Ibu menatapku lekat-lekat, menyiangi setiap kata yang baru saja meluncur dengan selancar penyot yang terbata-bata.

Uwi pengen masuk UI, Bu…

Ibu menghembuskan napas sembari menutup matanya lalu beranjak,

“Uwi pengen ngubah kehidupan kita dengan ilmu Bu, bukan dengan uang.”

Langkahnya terhenti. Kulihat bahunya turun naik, sesekali tangan kanannya terangkat, mengusap salah satu bagian di wajahnya. Kutaksir ia mengusap sudut matanya.

“Assalamu’alaikum,” ucapku pamit.





[1][1] Kursi kecil yang terbuat dari kayu, tingginya sekitar 30 cm



[2] “Yaudah, makan dulu yuk.”
Read More... Ketika Sintesa Berkisah #5

Tuesday, February 8, 2011

Ketika Sintesa Berkisah #4

Hey, Kalian yang Beruntung Itu!


Tulisan itu masih teronggok di sudut jendela kamar yang berdebu, bersih malas menyentuh. Sejak malam pengakuan mimpi itu berakhir tanpa sebuah keputusan, kalimat senada yang tertoreh di sana semakin banyak. Sayang, hanya sebuah kalimat yang tak mampu menggubah apa pun. Setiap keinginan itu menggebu, setiap ketakutan itu menyeruak, kalimat itu berdalih semacam mengobat lara yang menjelma menjadi antibiotik.

Uwi pengen masuk UI


Sederet alfabet yang terjalin rapat dalam sambungan makna adat.

Pagi ini, aku pun baru menuliskan kalimat itu lagi. Entah berapa banyak, yang jelas satu halaman buku yang kertasnya licin itu sudah terisi penuh. Namun, sama sekali tak memuaskan perasaanku. Muskil rasanya untuk melenyapkan mimpi yang terus berkecokol di kepalaku. Koreksi, bukan melenyapkan, tapi apa ya? Semacam solusi atas masalahku ini. Melenyapkan rasa takut akan mimpi itu barangkali. Ah, apalah namaya terserah, toh aku masih tetap tidak mengerti. Keterbatasan membuatku diam, tidak beranjak, apalagi bertindak. Tidak!

Seharusnya yang kutulis pagi ini bukanlah tulisan aneh itu, melainkan untaian rumus silabus yang siap membius para ambisius. Pihak kurikulum sudah berbaik hati dengan menerapkan jam tambahan ke-0 bagi siswa kelas XII. Setidaknya, tidak ada alasan bagi kami untuk tidur selepas subuh karena harus sampai di sekolah sebelum pukul enam. Aku ini siswa tak tahu terima kasih, bukannya menghargai malah memagari. Aku melewatkan pengorbanan guru matematika yang pasti bangun pagi-pagi sekali untuk memandikan anaknya yang berdasi merah dengan kebisuan mimpi yang merajam.

Sampai selesai, teman-teman bersorak. Sebagian mengeluarkan bekal sarapan, sebagian lagi melakukan senam pagi di bangku masing-masing. Aku masih tetap di posisiku, menyangga wajah dengan tangan telapak terbuka.

“Iqbal!” sepotong suara dari ambang pintu meruntuhkan kekuatan lenganku.

Yang disebut hanya mendongak kecil, tanpa ekspresi.

“Apa?”

“Selamat yah! Kamu ketrima PPKB UI! Keren!”

Aku terkesiap. UI, Universitas Indonesia. UI, yang kalau dibaca tetanggaku yang baru kelas satu sekolah dasar berbunyi “uwi”. UI, bagian dari sindikat perombak nalar itu. Iqbal, sosok terpintar di sekolah yang menyandang gelar standar itu diterima di UI.

Tiba-tiba saja dada ini bergemuruh. Terbayang olehku jika takdir yang baru saja terlukis menjamahku. Aku, aku yang diterima di kampus perjuangan itu. Imajinasi liar menggelegak di kepala. Bayangan predikat itu hanya meloloskan satuan air mata yang kalah dalam bendungan. Di sudut bangku yang menyepi itu air mataku ingin menangis, tetapi tak kuizinkan.

UI. Ya Allah…aku ingin UI, aku ingin!

“Oh, ngilenge neng ndi?”[1] Iqbal berkata datar.

Aku menaikkan alisku setengah, tak kulihat sepintas kebahagiaan pun di wajahnya yang memintar. Bahkan, rasa syukur itu pun tak dapat dilihat mataku yang telanjang. Sedikit pun dia tak menunjukkan rasa senang. Entah, tiba-tiba saja perasaan tak terima itu menyeruak, berkoar-koar tak terkendali.

Aku ingat, dulu ketika dia dipercaya oleh guru sejarah atas nilai-nilai teman sekelas, dengan bangga ia menyebutkan satu demi satu nilai kami. Dia memuji-muji kemampuan Ari yang berhasil meraih nilai sempurna tanpa cacat sedikit pun. Sementara dirinya sendiri harus puas dengan poin 95 lantaran lupa menuliskan nama pseodium Dowwes Dekker. Pada Amira lain lagi, dia membubuhkan senyum simpul sembari berkata “Nilaimu 90.” Lalu memberi tahu nilai Andi, Jaya, Kiki, dan teman lain yang terbiasa berurutan prestasi dengannya. Saat kutanya perolehan nilaiku padanya, lelaki yang diperebutkan guru untu jadi “asistennya” itu menatapku nanar sembari berpikir.

“44, terendah.”

Aku terjangkit apnea seketika.

Semua peraih nilai berkepala sembilan yang masih berkerumun di situ melihatku dengan muka masam, kasihan. Sejak saat itu aku merasa “lain” dengan lelaki yang katanya banyak dikagumi karena prestasi. Aku tak lagi menganggap hebat setiap kehebatannya muncul. Peristiwa selepas ujian tengah semester itu membuatku seringkali melihat kekurangan dibalik pujian-pujian yang dilontarkan orang untuknya. Aku sirik, barangkali. Aneh memang, dia hanya menjawab pertanyaanku, apa salahnya? Tidak tahu, tetapi aku masih menuntut toleransinya dalam menjawab pertanyaan. Seharusnya, tahu nilaiku sejelek itu tak perlu ia jawab pertanyaanku di situ! Di hadapan peraih emas dalam sejarah! Sakit hati, jelas.

Aku sirik, barangkali.

Menyebalkan sekali! Apa dia tak sadar betapa beruntungnya dia bisa mendapatkan UI dengan cara semudah itu! Dia tidak perlu tes!

“Penggumumannya di TU, Bal.” Dela, yang tadinya sangat bersemangat latah bersikap datar. Pengaruh lelaki tak pandai bersyukur itu.

Iqbal beranjak dari bangkunya, melangkah santai seperti mau mengambil kertas ulangannya yang sudah pasti sembilan. Melangkah biasa, tanpa ekspresi. Mungkin siswa teladan ini terlampau yakin sehingga ketika keyakinannya terwujud ia hanya menanggapinya dengan seutas senyum kecil, seperti tersenyum pada mantan tetangganya yang sudah pindah rumah.

Bukan salah siapa-siapa kalau aku begitu tak suka melihat sikapnya yang biasa. Maaf, dalam hal ini aku pun tak mau disalahkan.

Teman-teman mulai ramai memberi selamat, mengakui kehebatannya. Tak perlu Tanya bagaimana reaksiku, aku masih terpaku dengan mimpiku. Toh, kurasa dia tak butuh ucapan selamat, dari siapa pun!

Kalau aku jadi dia, aku pasti sudah melonjak gembira, teriak sekencang mungkin, melompat tinggi-tinggi lalu memeluk satu demi satu teman perempuanku. Mungkin, ini ekspresi yang sedikit berlebihan—sangat berlebihan malah—menurut Iqbal. Baginya masuk UI bukanlah sesuatu yang besar dalam hidupnya. Ketika ditanya bagaimana perasaannya, mulut logaritmanya menjawab “Biasa bae,”[2]

Ah, kebahagiaan itu memeng relatif!

Aku sirik, barangkali.

Menit-menit mengalirkan sisi marah dalam batinku. Mungkin aku iri, iri yang menggulung hati. Melihat sikapnya yang terkesan biasa membuatku berpikir bahwa dia seolah tak mensyukuri nikmat yang diberikan Allah atas kebahagiaan ini. Apa Allah salah memberi kebahagiaan? Kalau Iqbal tidak bahagia dalam posisi ini, mengapa keberuntungan itu menyapanya? Mengapa bukan untukku saja yang begitu mengaharapkannya?

Hahaha. Betapa piciknya aku, siapa aku yang instan berkesimpulan hanya dengan sepenggal observasi abstrak? Kebahagiaan seseorang, orang lain mana yang bisa menilai? Picik, sungguh picik aku ini.

Iqbal tidak bahagia, kata siapa? Iriku tak ayal menembus rasa yang tersembunyi di balik jeruji hatinya. Hanya dia yang tahu, tentu saja.

Bosan dengan iri, malas dengan pengakuan selamat.


Di dalam gelap sepatu, rangkaian jari kakiku menari-nari meninggalkan kebosanan yang menghampiri

Begitu keluar kelas aku seperti melihat proyeksi diriku ketika mendapatkan UI dalam genggaman. Bersorak gembira, berlari kencang, meloncat tinggi, dan memeluk satu demi satu teman perempuanku.

Apa aku sudah benar-benar gila karena UI?

“Aku ketrima UI!”

“Iyaa… selamat yaa!”

“Ya Allah… Alhamdulillah…”

Sujud syukur. Merelakan hidung mencium keramik kotor bekas sepatu anak-anak, bekas jejak gerobak sampah, bekas tapak kucing yang baru kencing.

“Aku gak mimpi kan????! Gak nyangka banget, sumpah! Ini beneran kan?”

“Iyaaa… selamat! Selamat! Selamaaaaat!!!”

Aku melihat itu, jelas. Kebahagiaan yang melesat-lesat disetiap desir angin yang bernapas. Di luar nalar. Proyeksi itu begitu kuat, sangat kuat. Nyata, benar-benar nyata. Sampai sedengung suara menyapa,

“Weh, aja ngelamun ngarep lawang. Ora ilok.”[3]

Proyeksi kebahagiaanku menghilang ketika aku menoleh.

“Hehe, bisa aja…”

“Kantin yuk!”

“Gak ah, masih kenyang.”

Aku menoleh lagi, berharap proyeksiku belum luput.

Hwaaaaaaaaaaaaaaa…

Teriakan-teriakan itu masih kencang dan ini bukan proyeksi. Aku benar-benar perlu koreksi indrawi, sudah terkontaminasi khayalan tingkat tinggi.

“Del!” panggilku sedikit berteriak,

“Iqbal, sama tuh Ari… heboh banget yah!”

Ternyata yang bersorak gembira, berlari kencang, meloncat tinggi, dan yang memeluk satu demi satu teman perempuannya itu dia, bukan aku!

Mereka yang beruntung itu, betapa bahagianya aku bila berada di posisi mereka.

“Ya Allah, jika Engkau mengizinkan, berilah hamba kesempatan untuk turut sedikit mencicipi kebahagiaan mereka.”

Allah, aku pengin masuk….

Ponselku bordering,

“Mbak, ntar cepet pulang! Bu Manah ke rumah, nagih utang!”



[1] “Oh, lihatnya di mana?”
[2] “Biasa saja”
[3] “Hey, jangan melamun di depan pintu. Tidak baik.”
Read More... Ketika Sintesa Berkisah #4

Ketika Sintesa Berkisah #3

Menelepon Pagi



DIA membuka mata pagi ini, sudut matanya mengkilat. Jemarinya reflek mengoles "kotoran" pagi itu diiringi semburat muka aneh yang malas. Sesuatu di balik bantalnya berdering. Bukan weker.

"Ididih, katanya calon mahasiswa UI, jam segini masih ngringkel[1] kaya gitu. Di mana letak ke-UI-annya?" kata mama di seberang sana.

Dia mengendus bantal zebra dengan muka masam. Ponselnya dibiarkan tergeletak, fasilitas loudspeaker pun dimanfaatkan.

"Aaah, Mama. . .ini kan hari Minggu, lagian capek belajar mulu. Istirahat dulu lah,"

suara mama mendekat, hampir mendekap.

"Hey, kalau soal istirahat, bukan sekarang saatnya. . .nanti sayang, sekarang kamu harus terus berjuang!" tidak ada jawaban yang menyembul, sepi. Sepertinya ada yang telah meninggalkan alam sadar. Lagi.

"Masih pengen masuk UI gak? Dari sikapnya sudah tidak meyakinkan."

"MAU MAMA!!!"

Tubuh yang daritadi berkelakar dalam senyuman springbed itu terangkat mantap. Sorot matanya tajam, terisi semangat yang mendobrak malam. Ia lantas cepat beranjak, siap mengusir peluh dengan upacara basuh diri di kamar mandi.


Ponsel yang sengaja mengantuk di ujung kasur bicara sendiri

***

NAMANYA SENO, Seno Prasetyo. Suara bapak-bapak dari langgarlah yang membangunkannya pagi ini. Ia terbelalak, sudah subuh.

Sosok dirinya berjas kuning dengan lambang makara Univesitas Indonesia yang tergantung dalam sebuah bingkai menyapanya. Sebetulnya itu foto kakak kelasnya, Dia mengedit muka kakak kelasnya itu dengan foto KTP miliknya. Dibantu photoshop.

Seno duduk, menatap "foto"nya. Lalu merapatkan mata.

"Aku mahasiswa UI. Aku mahasiswa UI. Aku mahasiswa UI!" Desahnya pelan, takut ketahuan, disangka gila.

"Seno!!" suara melengking ibu membuyarkan konsentrasinya. Di tangan ibu tergenggam sebuah cungkir[2].

mau apa ibu ini?

"Bapakmu sakit, gantiin kerja bakti ya"

"Yaaah ibu. . .mas Sentot aja deh bu,"

"Kakakmu itu habis lembur semalam, kasian. Capek."

Semalam aku juga lembur dengan soal matematika bu, capek. Ibu gak kasian?

"Aaah. .males bu,"

"Uda cepet sana! Mandi, subuhan terus berangkat!"

Ibu meninggalkan Seno berdua bersama cungkir di atas kasur kapuk. Seno bersungut-sungut menikmati “keromantisan” ini.

Kesal.

Dia menatap cungkir tiyengen[3] itu dengan wajah iba lalu melemparkannya ke tegel hitam kamar hingga menimbulkan suara kelontang. Pagi yang menyebalkan.

Untung, cungkirnya pintar, dia jatuh tepat di bawah foto imajiner yang dibuat Seno. Membuat sebisik suara muncul,

"Hey, anak UI gak boleh marah."

Seno menatap fotonya, lalu nyengir.


Kerja bakti yang dipimpin Pak RT itu cukup menyenangkan. Sebenarnya tidak, tetapi saat sebuah kejadian menyebalkan menimpanya suara itu selalu muncul:"Anak UI gak boleh marah" dan dia dengan cepat mengelus dada. Sabar dalam sebingkai senyum.

"Seno, Seno!" ibunya, berlari kecil, menyincing daster batiknya yang sedikit lusuh. Tangan kanannya digetarkan oleh sebuah benda yang sering membuat anaknya tertawa sendiri: HP.

"Ini ada telpun, Mas Danu Sintesa." baca perempuan tua berlesung pipi itu.

Seno malu-malu menampanya.

"Halo Assalamu'alaikum."

"Oh iya Kang, hmm. .iya iya"

"Tapi kan nyong dudu eh durung dadi bocah Sintesa, isin oh. . ."[4]

"Karuan sih wong-wonge dewek."[5]

"Apa? Oh. .iya iya, semangat tah nemen oh Mas, dongane bae ya. .''[6]

"Yo. Wa'alaikumsalam."

Seno menyimpan HP-nya di saku. Ibu sudah sudah tidak setempat dengannya, mungkin sudah pulang, ia tidak memperhatikan tadi. Kalau sudah bicara dengan kakak kelas yang jadi anggota Sintesa dia suka lupa diri. Sepertinya dia benar-benar sudah terjangkit virus kuning stadium pungkas.

Seperjalanan pulang HP-nya berdering lagi. Kali ini dari Iqbal,karibnya.

"Sen, aja klalen klambine disetrika."[7]

"Ha?"

"Ngesuk dewek pan nrima penghargaan seka Pak Kepala Sekolah ya..."[8]

"Oh iya, penyerahan piala juara olimpiade ngesuk ya, bar upacara! Ya ya pan ta setrika kiye klambine."[9]

Klik, wajahnya sumringah. Sampai rumah Seno langsung mencari seragam terbaiknya, yang sudah setia menyerap keringatnya hampir tiga tahun terakhir.

Ia siap menyetrika. Beberapa menit setelah lampu setrika menyala merah, speaker aktif di kamar mas Sentot yang sejak tadi mengoarkan lagu cinta itu mendadak bisu. Di ruang tamu adiknya yang sedang menonton doraemon berteriak.

"Ibu. . . TV-nya matiiii!!"



Anjlog![10]



***



[1] Tertidur dengan posisi memeluk lutut
[2] Jenis alat bangunan yang dipakai untuk mengoleskan adukan semen ke tembok. Biasanya dipakai juga untuk menebas rumput.
[3] berkarat
[4] “Tapi aku kan bukan eh belum jadi anak Sintesa, malu dong..”
[5] “Emang sih sama orang-orang sendiri.”
[6] “Apa? Oh. .iya iya, semangat itu sangat Mas, doanya aja ya. .”
[7] “Sen, jangan lupa bajunya disetrika.”
[8] “Besok kan kita mau menerima penghargaan dari Kepala Sekolah.”
[9] “Oh iya, penyerahan piala juara olimpiade besok yah, habis upacara! Ya ya bajunya mau kusetrika.”
[10] Ketika daya listrik turun
Read More... Ketika Sintesa Berkisah #3

Ketika Sintesa Berkisah #2

Uwi Pengen Masuk UI


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI


Hanya itu yang bisa aku tuliskan sekarang. Aku takut menulis lebih, rasanya kalimat lain yang mendesak keluar otak ini menjadi semacam monster yang siap menerkam. Terlampau “menakutkan”.


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Sederet huruf-huruf yang kupaksakan ada dalam satu makna kata, cita. Sebuah bait tak indah yang mendobrak nalar. Menuliskannya bukan sekadar curahan rasa, melainkan lebih mengarah pada sebuah effort untuk membuang rasa takut, melemparkannya pada seonggok lengan yang siap menampa. Lengan siapa?

Hari ini aku merasa tak biasa. Biasanya gampang saja bagiku menorehkan segala lekuk kehidupan yang menamparku menjadi sekelebat rangkaian kisah. Namun, kali ini terasa lain. Aku benar-benar takut melanjutkan kalimat tadi, bahkan ujung pena ini turut takut terayun.


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Aku ingin seperti Kak Pandi, bukan anehnya, melainkan sisi kemengertiannya pada sesama. Aku ingin masuk jurusan Psikologi. Aku ingin mengerti dan memahami orang lain. Selama ini aku merasa ada dengan amanah kisah yang diberikan teman-teman padaku, mereka mempercayakan cerita-cerita penting dalam fase hidup mereka padaku. Situasi itu membuatku merasa punya peran dan tugas untuk hidup di dunia. Apalagi jika saran kecil dariku memberi dampak besar dalam penyelesaian masalah mereka. Rasanya lega sekali.

Selain itu, aku pun suka menulis dan aku sangat haus dengan karakter baru. Melalui ilmu psikologi aku ingin meraup berbagai macam jenis polah manusia lalu kupadukan menjadi tokoh inspiratif yang fenomenal.

Aku ingin menjadi pendengar sekaligus pemberi solusi yang baik bagi ibu dan adik-adikku. Sebagai anak pertama aku ingin mengayomi ketiga adikku untuk berani bercita-cita dan pantang menyerah dalam mengarungi hempasan badai kehidupan.

Aku menghembuskan napas tiba-tiba.


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI


Berhenti lagi, entah kenapa aku ingin membuka lembaran-lembaran yang sudah lama kulewati. Garis-garis buku itu terlempar mundur, ternyata ada banyak hal yang terpatri di sana. Keseharianku, kekesalanku, kesedihanku, kegembiraan, sampai tangisan putus asa pun pernah kutorehkan di buku ini. Hm...lumayan bagus, pujiku sendiri. Sebersit pikiran lain muncul: aku ingin coba Sastra Indonesia UI. Sejauh ini rasa-rasanya aku tidak mahir di pelajaran lain selain Bahasa Indonesia. Mata pelajaran ini pula yang menghiasi raport sekolahku dengan huruf A.

Aku menyangga dagu dengan kedua tangan. Diantara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan masih terselip pulpen hijau favoritku. Aku melempar pandangan ke luar teks.

“Uwi pengen masuk UI,” gumamku

“Uwi ngrasa UI akan merubah hidup Uwi.”

Aku menutup mata, mencoba membayangkan sosok kampus perjuangan itu, tetapi tak muncul sama sekali. Hanya ada gelap. Tak ada setitik pun gambar yang muncul. Aku kembali menulis.

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk....

“Mba, lawuhe neng ndi?”[1]

Suara Komar, adik bungsuku, memacetkan tinta yang sedang mengukir mimpiku.

“Neng lemari, tempenya sijinan ya... mba Ratna karo Jaka diturahi.”[2]

Tidak ada suara lagi, sepertinya dia sudah mulai makan. Si bungsu ini baru kelas empat SD, dia senang sekali main layang-layang. Meskipun bukan musim layangan dia tak pernah absen menerbangkan layangannya di lapangan. Dia ini “kencang” dalam segala hal. Selain Komar, ada Jaka, kakaknya bungsu. Dia sudah kelas dua SMP, satu-satunya anak ibu yang mewarisi otak ayah ya Jaka ini. Kecerdasannya luar biasa, secerdas ayah yang hobi menjuarai olimpiade. Kalau adik pertamaku namanya Ratna, tahun ini mau masuk SMA. Katanya dia ingin jadi perawat. Mendengarnya aku begitu bahagia, impiannya begitu mulia. Oleh karena itu studinya harus terus lanjut. Tahun ini dia harus sekolah.

Kuseka wajah ini dengan kedua telapak tangan.

Uwi pengen masuk UI

Tahun ini Ratna harus sekolah

Uwi pengen masuk UI

Soal biaya sepertinya ibu sudah mempersiapkan. Arisan yang ibu dapat tiga bulan lalu masih tersimpan utuh. Tidak berkurang sama sekali, padahal aku tahu ibu ingin membeli panci baru. Panci di dapur sudah bolong.

Uwi pengen masuk UI

Aku tidak mungkin menguapkan senyum ibu dengan impianku ini

Uwi pengen masuk UI

“Kan ada Sintesa, di sana kalian akan dibantu sama kakak-kakak Sintesa”

Sintesa lagi, aku teringat omongan kakak kuning itu, tapi apa sintesa dapat membantu masalahku sekarang?


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Di bait entah keberapa ini terbayang wajah ibu yang pipinya sudah bersahabat dengan keriput. Otot-ototnya yang mengencang menyembul dibalik permukaan kulisnya yang menipis. Jemari ibu seolah menggenggam tanganku yang terus menulis, ibu ingin aku berhenti. Ibu ingin aku berhenti menuliskan mimpiku. Lalu, aku teringat akan sosok ayah yang keberadaan dan ketiadaannya menguatkan ibu. Aku ingat masa penuh suka bersama ayah dulu. Aku ingat ketika ayah mengelus kepalaku dan adik-adik sepulang beliau kerja. Aku ingat kebahagiaan itu, kebahagiaan yang ditinggalkan ayah sebagai kenangan abadi kami. Aku, ayah, ibu, dan ketiga adikku.

Uwi pengen masuk UI

Air mataku tumpah ruah ketika tiba masanya syaraf yang bersemayam di kepalaku mengantarkanku pada elusan terakhir ayah sebelum ajalnya. Ayah bilang,

“Jaga adik-adikmu, bantu ibu.”

Dalam tangis, jemari yang masih rekat dengan ujung pulpen ini bergetar menuliskan sebaris kalimat yang sedikit agak sama,



Ayah, Uwi pengen masuk UI....




[1] Mba, lauknya di mana?
[2] Di lemari, tempenya satu-satu ya... sisihkan buat mba Ratna dan Jaka
Read More... Ketika Sintesa Berkisah #2

Saturday, January 15, 2011

Ketika Sintesa Berkisah


Sintesa: Sindikat yang Merombak Nalarku

Dua sosok kuning itu masuk ke kelasku. Ah, silau! Kebetulan kilatan mentari yang terpantul dari sudut jendela menancapkan panahnya pada jaket kuning yang mereka kenakan. Tepat sasaran, warna kuning yang bercinta dengan cahaya itu menyerempet sisi mataku. Sial! Belum apa-apa mereka sudah menyita perhatianku.
Namun, aku masih menang karena semangatku tak meningkat sedikit pun. Tidak seperti teman lain yang langsung menegakkan posisi duduknya begitu kedua sosok itu melepas senyum sambil melempar salam.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarrakaatuh!” lelaki jangkung dan perempuan berlesung pipit yang terbungkus kilat kuning itu mengucap salam dalam satu komando. Gaya mereka tak beda jauh dengan MC pengajian. Aku menyimpul senyum, lucu saja. Oh ya, lemparan salam mereka belum kutangkap.
“Wa’alaikumussalam warrahmatullahi wabarrakaatuh,” batinku. Biasanya aku paling malas jika ada briefing dari universitas, tetapi silauan salam kuning barusan membuatku sedikit tertarik. Cara mereka unik.
“Perkenalkan, saya Pandi, Psikologi 2009 dan rekan saya….” Lelaki jangkung itu, namanya Pandi. Jelek sekali, he he he.
“…Alya! Geografi 2008. kami dari….”
Pandi melirikan matanya sejenak ke arah Kak Alya yang manis, dasar genit!
“SINTESA UI!” kata mereka kompak,
Oh, rupanya lirikan tadi sebuah isyarat. Semangat mereka dahsyat, membuat hampir seisi kelas melepas jubah kantuknya, kecuali aku. Tentu saja.
“Oke, ada yang tahu apa itu Sintesa?”
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mereka saling berbisik. Dari belakang aku sempat mendengar semacam debat kecil, masing-masing mempertahankan ingatan mereka tentang Sintesa. Mereka sempat baca-baca di blog katanya. Aku menurunkan badan, menidurkan kepala ini di meja kayu yang sedikit keropos.
“Satu Ikatan Tegal Bersaudara, Kak!” ada yang menjawab, entah siapa.
“Iya, nyaris! Nyaris betul! Tapi sedikit salah, hm...maknanya udah nangkep[1] sih....” perkataan Kak Pandi membuat seisi kelas gaduh. Dia aneh! Aku pun merasa kalimatnya janggal, jadi sebenarnya itu benar atau salah?
“Sintesa adalah....” dia mengeraskan suaranya untuk membungkus perhatian kami. Ketika kami mulai memperhatikan, dia malah menggantungkan bicaranya. Bukankah ini menyebalkan?
“Satu Ikatan Mahasiswa Tegal Bersaudara!” sambung Kak Alya.
Ada gemuruh Oh di ruang kelasku.
“Tuh, nyaris bener kan? Kalau dinilai dapetnya A- hahaha.” Cowok bersepatu hijau pupus itu tertawa sendiri, melihat sepatunya aku jadi teringat Nyi Roro Kidul. Sosok yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai penjaga Laut Selatan  itu konon sangat menyukai warna hijau pupus.
“Nah, kalian-kalian ini nih regenerasi kami selanjutnya. Ayo goncangkan Jakarta dengan semangat Tegal!” lanjutnya berapi-api.
Kami tertawa lepas, orang ini aneh sekali!
“Yah, kira-kira itu sekilas tentang Sintesa. Untuk Universitas Indonesia itu sendiri, bagaimana tanggapan kalian?” suara lembut Kak Alya membuat kami lupa tentang segala keanehan yang melekat di tubuh Kak Pandi.
Mata ini sayu, aku mengantuk. Ngantuk sekali, ingin rebahan, leyeh-leyeh[2] lalu tidur! Hm, atmosfer seperti ini mambosankan bagiku. Entah ini kali ke berapa orang-orang berjas itu mempromosikan warna kampus mereka. Aku benar-benar bosan, mungkin karena di pikiranku tak ada sebersit wacana pun untuk mewarnai tubuhku dengan salah satu jas itu. Mahasiswa. Rasanya tak mungkin kugapai gelar itu. Cukup siswa sajalah.
Aku sadar, untuk menyiswakanku sampai putih abu-abu saja ibu sudah kembang kempis, apalagi memahasiswakan aku dengan jas? Masa iya aku tidak kasihan. Mau mengandalkan beasiswa? Aku malu karena aku tidak pintar, bagiku beasiswa adalah tanggung jawab bagi anak-anak pintar.
Beberapa dari kami mengemukakan pendapatnya, siapa sih yang tidak tahu UI? Satu-satunya universitas yang menyandang nama negara. Bahkan, aku yang hidup jauh dari komunitas orang-orang berpendidikan pun tahu UI. Satu-satunya universitas yang kukenal ketika usiaku sembilan tahun. Waktu itu aku diberi hadiah kaos bergambar sketsa bangunan yang bertuliskan Universitas Indonesia. Sejak saat itu kalau aku mendengar kata kuliah yang kuingat pasti UI. Wajar saja, aku hanya tahu itu.
Ada pula yang curhat seputar alasannya takut kuliah di UI.
“Tapi saya ini bodo, Mas. Saingannya banyak, pinter-pinter lagi. Gak mungkin ketrima di UI lah pokokke. Mimpi kali yee....” Aku tergelitik dengan komentar barusan. Sebuah komentar perwakilanku.
“Hahaha, justru dari mimpi itu semua bermula dek!” Kak Alya menebar senyum manisnya, teman-teman lelakiku semakin menegakkan badan.
“Coba kakak tanya, siapa diantara kalian yang ingin masuk surga?”

Alis mataku terangkat setengah, pertanyaan macam apa itu?
Read More... Ketika Sintesa Berkisah
 

Suchz Aha'! Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting