Saturday, January 15, 2011

Ketika Sintesa Berkisah


Sintesa: Sindikat yang Merombak Nalarku

Dua sosok kuning itu masuk ke kelasku. Ah, silau! Kebetulan kilatan mentari yang terpantul dari sudut jendela menancapkan panahnya pada jaket kuning yang mereka kenakan. Tepat sasaran, warna kuning yang bercinta dengan cahaya itu menyerempet sisi mataku. Sial! Belum apa-apa mereka sudah menyita perhatianku.
Namun, aku masih menang karena semangatku tak meningkat sedikit pun. Tidak seperti teman lain yang langsung menegakkan posisi duduknya begitu kedua sosok itu melepas senyum sambil melempar salam.
“Assalamu’alaikum warrahmatullahi wabarrakaatuh!” lelaki jangkung dan perempuan berlesung pipit yang terbungkus kilat kuning itu mengucap salam dalam satu komando. Gaya mereka tak beda jauh dengan MC pengajian. Aku menyimpul senyum, lucu saja. Oh ya, lemparan salam mereka belum kutangkap.
“Wa’alaikumussalam warrahmatullahi wabarrakaatuh,” batinku. Biasanya aku paling malas jika ada briefing dari universitas, tetapi silauan salam kuning barusan membuatku sedikit tertarik. Cara mereka unik.
“Perkenalkan, saya Pandi, Psikologi 2009 dan rekan saya….” Lelaki jangkung itu, namanya Pandi. Jelek sekali, he he he.
“…Alya! Geografi 2008. kami dari….”
Pandi melirikan matanya sejenak ke arah Kak Alya yang manis, dasar genit!
“SINTESA UI!” kata mereka kompak,
Oh, rupanya lirikan tadi sebuah isyarat. Semangat mereka dahsyat, membuat hampir seisi kelas melepas jubah kantuknya, kecuali aku. Tentu saja.
“Oke, ada yang tahu apa itu Sintesa?”
Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, mereka saling berbisik. Dari belakang aku sempat mendengar semacam debat kecil, masing-masing mempertahankan ingatan mereka tentang Sintesa. Mereka sempat baca-baca di blog katanya. Aku menurunkan badan, menidurkan kepala ini di meja kayu yang sedikit keropos.
“Satu Ikatan Tegal Bersaudara, Kak!” ada yang menjawab, entah siapa.
“Iya, nyaris! Nyaris betul! Tapi sedikit salah, hm...maknanya udah nangkep[1] sih....” perkataan Kak Pandi membuat seisi kelas gaduh. Dia aneh! Aku pun merasa kalimatnya janggal, jadi sebenarnya itu benar atau salah?
“Sintesa adalah....” dia mengeraskan suaranya untuk membungkus perhatian kami. Ketika kami mulai memperhatikan, dia malah menggantungkan bicaranya. Bukankah ini menyebalkan?
“Satu Ikatan Mahasiswa Tegal Bersaudara!” sambung Kak Alya.
Ada gemuruh Oh di ruang kelasku.
“Tuh, nyaris bener kan? Kalau dinilai dapetnya A- hahaha.” Cowok bersepatu hijau pupus itu tertawa sendiri, melihat sepatunya aku jadi teringat Nyi Roro Kidul. Sosok yang dipercaya masyarakat Jawa sebagai penjaga Laut Selatan  itu konon sangat menyukai warna hijau pupus.
“Nah, kalian-kalian ini nih regenerasi kami selanjutnya. Ayo goncangkan Jakarta dengan semangat Tegal!” lanjutnya berapi-api.
Kami tertawa lepas, orang ini aneh sekali!
“Yah, kira-kira itu sekilas tentang Sintesa. Untuk Universitas Indonesia itu sendiri, bagaimana tanggapan kalian?” suara lembut Kak Alya membuat kami lupa tentang segala keanehan yang melekat di tubuh Kak Pandi.
Mata ini sayu, aku mengantuk. Ngantuk sekali, ingin rebahan, leyeh-leyeh[2] lalu tidur! Hm, atmosfer seperti ini mambosankan bagiku. Entah ini kali ke berapa orang-orang berjas itu mempromosikan warna kampus mereka. Aku benar-benar bosan, mungkin karena di pikiranku tak ada sebersit wacana pun untuk mewarnai tubuhku dengan salah satu jas itu. Mahasiswa. Rasanya tak mungkin kugapai gelar itu. Cukup siswa sajalah.
Aku sadar, untuk menyiswakanku sampai putih abu-abu saja ibu sudah kembang kempis, apalagi memahasiswakan aku dengan jas? Masa iya aku tidak kasihan. Mau mengandalkan beasiswa? Aku malu karena aku tidak pintar, bagiku beasiswa adalah tanggung jawab bagi anak-anak pintar.
Beberapa dari kami mengemukakan pendapatnya, siapa sih yang tidak tahu UI? Satu-satunya universitas yang menyandang nama negara. Bahkan, aku yang hidup jauh dari komunitas orang-orang berpendidikan pun tahu UI. Satu-satunya universitas yang kukenal ketika usiaku sembilan tahun. Waktu itu aku diberi hadiah kaos bergambar sketsa bangunan yang bertuliskan Universitas Indonesia. Sejak saat itu kalau aku mendengar kata kuliah yang kuingat pasti UI. Wajar saja, aku hanya tahu itu.
Ada pula yang curhat seputar alasannya takut kuliah di UI.
“Tapi saya ini bodo, Mas. Saingannya banyak, pinter-pinter lagi. Gak mungkin ketrima di UI lah pokokke. Mimpi kali yee....” Aku tergelitik dengan komentar barusan. Sebuah komentar perwakilanku.
“Hahaha, justru dari mimpi itu semua bermula dek!” Kak Alya menebar senyum manisnya, teman-teman lelakiku semakin menegakkan badan.
“Coba kakak tanya, siapa diantara kalian yang ingin masuk surga?”

Alis mataku terangkat setengah, pertanyaan macam apa itu?
Read More... Ketika Sintesa Berkisah
 

Suchz Aha'! Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting