Thursday, June 30, 2011

Rel Mesin jahit

Pagi ini begitu sunyi, tak seperti biasa, selalu ada suara anyaman besi pada kaki mesin jahit yang dipijak. Greyat-greyot digenjot kaki yang dipenuhi tonjolan otot. Pagi ini begitu senyap, tak seperti biasa, ada suara berisik dalam gelap. Suara mesin jahit ibu, suara yang pertama kali singgah di gendang telingaku.
“Seharusnya kau malu pada telingamu, mengapa justru suara mesin Ibu yang kau dengar pertama kali, mengapa bukan suara adzan pagi ?”
Kalimat yang dilontarkan ibu setiap kali Lena menggerutu karena berisik itu kembali terngiang di telinga Lena. Pagi ini suara yang pertama kali masuk ke telinganya adalah desah napasnya sendiri. Lena melangkah menuju mesin jahit portable di sudut ruang tengah, mesin itu masih “tertidur” di dalam bungkus sejak dibeli seminggu lalu, hadiah ulang tahun ibu. Sayang, belum sempat ibu mecoba mesin jahit barunya itu. Peristiwa terjatuh di kamar mandi ketika ibu sedang munjuk , menyebabkannya tak sadarkan diri hingga sekarang, menjadi pasien dengan diagnosa gejala stoke yang sudah tujuh hari menginap di Bangsal Sederhana, bangsal khusus pengguna ASKESKIN (Asuransi Kesehatan Miskin).
Seminggu lalu, baru tujuh hari yang lalu Lena melihat ekspresi wajah ibu yang tak biasa ketika menyadari mesin jahit genjotnya telah beralih menjadi mesin jahit listrik yang tentu akan meringankan kakinya. Lena belum sempat melihat kebahagiaan wajah ibu, kejadian saat itu begitu cepat. Kilasan kisah yang sangat Lena ingat adalah setelah menerima hadiah dari Lena ibu pamit ke kamar mandi.
Dari sanalah semua bermula.

Pagi itu, Lena bangun jauh lebih pagi dari biasanya. Pagi itu pula untuk pertama kalinya Lena mendengar adzan pagi—suara yang pertama kali Lena dengar setelah bangun tidur. Pagi itu, hari ulang tahun ibu.
Sepagi itu, Lena memerintahkan kakinya menuju mesin jahit genjot di sudut ruang tengah, jemarinya meraba bagian badan mesin yang sekilas bentuknya mirip huruf G dengan rongga di bagian atasnya. Tangannya kemudian meneteskan pelumas pada lubang-lubang kecil yang terdapat di landasan mesin itu. Seperti yang biasa dilakukan ibu. Badan mesin itu kemudian Lena lipat ke bawah meja, memenuhi ruangan di dalam meja kayu yang memang diset khusus sebagai wadah badan mesin. Lena pun mengakhiri sesi beres-beresnya dengan melipat daun meja yang menjuntai kaku, seperti meja panjang, di bagian kiri mesin.
Selanjutnya, Lena memanggil tukang mesin jahit yang dijadikan partner dalam misinya kali ini. Tanpa menimbulkan suara sama sekali tukang itu berhasil masuk ke dalam rumah, membawa mesin jahit portable yang dipesan Lena. Tukang itu pun, membawa mesin jahit genjot ibu yang dijual Lena. Sepagi itu, rencananya terbilang tanpa cacat, mulus. Sampai ketika ibu bangun, ibu terkesiap melihat seonggok mesin jahit baru di tempat mesin jahitnya yang lama.
“Selamat ulang tahun ya, Bu...” Lena memeluk ibu dari belakang, memutar tubuhnya ke depan lalu mempersembahkan senyum terbaiknya kepada ibu.
Ibu memandang Lena lekat, merengkuh wajah putri semata wayangnya yang mulai dewasa dengan kedua telapak tangannya yang mulai kuyu. Ibu tersenyum kecil.
“Terima kasih, anakku.”
“Sekarang kaki Ibu gak akan pegel-pegel lagi kalau habis menjahit. Mesin ini gak perlu digenjot, hehe” kata Lena polos.
Ibu tidak menanyakan ke mana mesin jahit lamanya.
Ibu tersenyum lagi, lalu pamit ke kamar mandi.
Dari sanalah semua bermula.

Lamunnya disudahi dengan setetes air mata. Lena ingat betul, betapa teduhnya senyum ibu di pagi yang—ah, entah itu pagi indah atau tidak—merupakan hari ulang tahun ibu, Lena ingin sekali melihat senyum seteduh itu lagi dari balik wajah ibu, seutas senyum yang keteduhannya mengalahkan tetesan embun di ujung gersang. Mendadak ketakutan menyergapnya, Lena takut jika senyum itu adalah senyum terakhir ibu.
Ponselnya bergetar.
“Hallo, Assalamualaikum?”
Wajah Lena seketika pias, kabar dari rumah sakit membuatnya panik.

Lena mengayuh sepedanya cepat, terbiasa menjadikan sepeda sebagai alat transportasi utama semenjak sekolah dasar membuatnya lihai meliuk-liuk di jalanan. Dari SD Lena sering diajak almarum ayahnya bersepeda mengelilingi Kota Tegal sehingga kini pun Lena hapal semua “jurus” bersepeda yang diwariskan ayah. Mengayuh cepat bukan apa-apa bagi Lena, itu terlampau mudah. Lena teringat kata ayah, “Angin mengikuti kayuhanmu, jika kau cepat angin pun cepat mendatangimu, membantumu.”
Suara dari balik telepon tadi seolah menyusuri lubang telinga bersama angin yang mendorongnya berjalan. Lena semakin kuat, tak peduli dengan puluhan klakson kendaraan bermotor yang dongkol atas caranya berkendara. Tak peduli pula dengan polisi yang meneriakinya lantaran seenaknya saja menerobos lampu merah. Lena tak peduli sekeliling, Lena hanya percaya pada angin yang akan membantunya cepat sampai kepada ibu. Angin semakin mendorong kayuhannya untuk mencapai senyum ibu, semoga.
“Lhoo liit... lhoo liit... lhoo liit...”
Lena panik, mendengar sirine kereta api yang dikeluarkan palang lintasan di samping Pertamina Tegal. Lena punya waktu semenit untuk menerobos rel kereta sebelum palang itu benar-benar memalang jalan. Mengejar lima puluh meter. Segala tenaga dikerahkan, tak ingin kehilangan waktu barang sedetik pun supaya cepat melihat wajah ibu. Nyaris, Lena terpalang.
“Lhoo liit... lhoo liit... lhoo liit...”
Lena kebas, tak mampu menerobos, terlambat tiga detik.
Tubuh kemlokonya pias.
Lena menggenggam ujung stangnya kuat-kuat, menahan kedua kakinya yang bergetar, letih. Ternyata benar, rasa lelah baru mulai ketika kita berhenti.
“Sial. Langsir !” Lena gusar. Sudah diakui oleh sebagian masyarakat Kota Tegal yang tinggal di sekitar Pertamina bahwa kereta paling menyebalkan adalah kereta langsir. Selain selalu muncul di saat-saat genting—jadwal kemunculannya sekitar pukul 06.30; 12.30; dan 16;30—kereta ini juga terkenal dengan keleletannya, apalagi di rel kereta di depannya ini yang langsung menuju ke Pertamina. Minyak-minyak di dalam gerbong berbentuk silinder itu akan dimasukkan ke ruang penyimpanan. Masinis yang mengemudikan endas-endasan kereta, dengan sangat hati-hati alias pelan sekali mengandeng puluhan gerbong minyak di belakangnya. Melintasi rel yang menembus gerbang besi kemudian melepas gandengannya satu demi satu.
Lena menghembuskan napas tiba-tiba, kesal. Jika gandengannya mudah dilepas, paling cepat kereta ini akan berlalu selama dua puluh menit, paling lama Lena harus menunggu lebih dari setengah jam. Tidak ada pilihan lain, tidak ada jalan lain lagi.
Endas-endasan kereta sudah memasuki pintu gerbang besi, di belakangnya ada berpuluh-puluh silinder raksasa berisi minyak yang siap disimpan. Lena menatap lekat-lekat setiap bagian kereta itu. Matanya tertahan pada roda kereta api yang berjalan amat lambat, ada banyak mesin-mesin yang mejalar di bawah kereta, terhubung dengan roda itu tadi. Begitu rumit pemandangan bawah kereta yang Lena lihat, tapi Lena tetap pada kesimpulan bahwa roda itu bundar dan roda itu berputar. Seperti roda mesin jahit genjot ibu. Entah angin apa yang membuatnya jadi ingat.
Sembari menatap roda kereta, sembari teringat roda mesin jahit ibu, suara sirine yang khas dimiliki palang kereta Petamina Tegal itu semakin jauh dari telinganya.

Setelah Lena menyantap suapan terakhir, ibu ke belakang untuk menaruh piring kotor dan barangkali sekalian mencucinya. Iseng, Lena kecil mendekati mesin jahit ibu, kaki kanannya menekan anyaman besi di kaki mesin, keras. Lena kecil tak kehabisan akal, Lena kemudian meminta bantuan kaki kirinya untuk turut menekan—menggenjot—anyaman besi itu, memberi sedikit tenaga dan berhasil, roda di samping lutut kananya berputar. Wajah polosnya terkikik puas ketika menyaksikan roda kecil di atas meja mesin yang melekat pada bagan mesin (kepala mesin) di depannya juga ikut berputar.
“Lena?” kata ibu dari dalam.
Yang dipanggil terkikik saja. Tidak begitu dengar.
“Ah, kamu toh, kirain siapa yang mainan mesin jahit.”
Takut-takut Lena berhenti menggenjot, lekas Lena merengkuh kedua kaki ibu sebagai isyarat permintaan maaf atas kelancangannya. Lena lalu meraih botol susu yang diisi air teh manis dari genggaman ibu.
“Tidak apa-apa, ayo sana main lagi!” Ibu melepas jarum jahit yang melekat pada mesin lalu berkata ceria, mengerti perasaan Lena.
Sejak saat itu, setiap pulang sekolah, setelah mengganti seragam merah putihnya—kata ibu kalau gak ganti nanti kena oli—Lena punya mainan baru, menggenjot mesin jahit ibu. Setiap hendak menjemput Lena tak lupa ibu selalu melepas jarum jahit di mesinnya, ibu tak mau Lena terluka.

Sirine kereta api kembali mendekati telinganya, Lena telah melewatkan tiga gerbong memasuki gerbang besi ruang penyimpanan. Gerbong yag tersisa masih panjang sementara matahari semakin panas, Lena bertambah was-was. Lena kembali menatap roda-roda kereta di depannya sampai Lena sadar satu hal: roda mesin jahit ibu sudah tidak ada di rumahnya.

Setelah mahir menggenjot, ibu menawarkan Lena sebuah tantangan baru dalam “mainannya”.
“Lena tahu gak, kalau kaki Lena menginjak mesin ini ada berapa roda yang berputar?”
“Dua! Di sini...” Lena kecil menunjuk roda besar di samping lututnya, “...dan di sini!” lalu jemarinya memegang roda kecil di hadapannya.
“Pinter anak ibu! Nah, sekarang Lena coba genjot ini mesin, tapi biar roda yang di depan Lena ini muternya ke depan terus, jangan maju mundur. Lena bisa?”
Lena mencoba, ternyata tak mudah. Sebelum menggenjot Lena menuruti nasihat ibu, memutarkan roda di depannya ke depan dulu sebelum kakinya ikut menggenjot. Roda itu pun akan terus berjalan ke depan, namun ketika Lena berhenti menggenjot dan roda berhenti berputar, untuk memutarkannya agar maju lagi itu tidak mudah. Kadang roda Lena berputar maju, ke depan, lalu kadang-kadang malah mundur.
Sekali lagi, Lena kecil terkikik, merasa tertantang. Sekarang “mainannya” tak sekadar menggenjot saja, tapi menggenjot dengan benar.

Debum suara gerbong yang saling bergesekan mengagetkan Lena, memaksanya kembali menjeda kilatan kisah kecilnya bersama mesin jahit ibu. Rangkaian gerbong di depannya masih saja berjalan, lambat. Membuatnya kembali tengingat bahwa setelah Lena berhasil menguasai teknik menggenjot dengan baik, ibu sudah mengizinkan Lena menjahit kertas. Ya, bukan kain, melainkan kertaslah yang dijahit Lena.
“Nah, kalau muternya sudah maju terus, kamu bisa mulai mengeceknya menggunakan kertas. Taruh kertas ini di sini, lalu genjot. Ingat ya, kertasnya harus berjalan menjauhi kamu.” Siloet senyum teduh ibu kembali mengusik batinnya. Tergambar jelas Lena sedang menjahit bagian tengah semua buku-bukunya yang terlepas. Lalu dengan bangga ibu memberikan nilai sepuluh atas hasil karyanya.
Hingga akhirnya Lena bisa menjahit kain dengan baik.
Sungguh, Lena sangat ingin pergi dari sini. Lena tak ingin menunggu lagi. Namun, kereta itu tak kunjung pergi.
Roda-roda yang menggesek rel itu mengingatkannya, kegiatan menjahit kertas merupakan hal paling berkesan dalam hidupnya yang melibatkan ibu. Hanya Lena dan ibu yang mengalami sepotong pengalaman unik ini, barangkali tidak ada manusia di muka bumi ini yang mengalami pengalaman yang sama.

Kenangan demi kenangan itu terus melesat di kepala Lena alih-alih rel beku di depan sana makin aus saja bergesekkan dengan roda-roda kereta yang berjalan amat lambat. Entah kenapa, selalu ada desir aneh setiap satu ingatan masa kecilnya dulu menyembul di pelupuknya. Guratan wajah ibu yang damai, pesona kecilnya yang polos, dan mesin jahit genjot itu tiba-tiba saja terasa begitu istimewa dalam satu peristiwa.
Lena kini begitu mahir menjahit, bulan depan Lena mulai bekerja di sebuah butik ternama di Jakarta, menjadi ibu peri yang menyulap busana spektakuler dalam sebuah kertas menjadi busana megah yang benar-benar nyata.
Dari sanalah semua bermula. Dari mesin jahit ibu.

Palang kereta terangkat, orang-orang bebas lewat.
Lena memutar sepedanya cepat, mencoba menembus kerumunan kendaraan yang hendak menerobos rel kereta yang sedari tadi ditutup. Lena putar balik, melawan arus.
Lena siap menyelamatkan mesin jahit ibu, karena dari sanalah semua bermula. Kebermulaan yang terlupa.
Ponselnya bergetar lagi, Lena menepi. Satu SMS masuk.
Sekali lagi kabar dari rumah sakit membuat Lena bertambah-tambah panik.
Read More... Rel Mesin jahit
 

Suchz Aha'! Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting