Tuesday, February 8, 2011

Ketika Sintesa Berkisah #2

Uwi Pengen Masuk UI


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI


Hanya itu yang bisa aku tuliskan sekarang. Aku takut menulis lebih, rasanya kalimat lain yang mendesak keluar otak ini menjadi semacam monster yang siap menerkam. Terlampau “menakutkan”.


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Sederet huruf-huruf yang kupaksakan ada dalam satu makna kata, cita. Sebuah bait tak indah yang mendobrak nalar. Menuliskannya bukan sekadar curahan rasa, melainkan lebih mengarah pada sebuah effort untuk membuang rasa takut, melemparkannya pada seonggok lengan yang siap menampa. Lengan siapa?

Hari ini aku merasa tak biasa. Biasanya gampang saja bagiku menorehkan segala lekuk kehidupan yang menamparku menjadi sekelebat rangkaian kisah. Namun, kali ini terasa lain. Aku benar-benar takut melanjutkan kalimat tadi, bahkan ujung pena ini turut takut terayun.


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Aku ingin seperti Kak Pandi, bukan anehnya, melainkan sisi kemengertiannya pada sesama. Aku ingin masuk jurusan Psikologi. Aku ingin mengerti dan memahami orang lain. Selama ini aku merasa ada dengan amanah kisah yang diberikan teman-teman padaku, mereka mempercayakan cerita-cerita penting dalam fase hidup mereka padaku. Situasi itu membuatku merasa punya peran dan tugas untuk hidup di dunia. Apalagi jika saran kecil dariku memberi dampak besar dalam penyelesaian masalah mereka. Rasanya lega sekali.

Selain itu, aku pun suka menulis dan aku sangat haus dengan karakter baru. Melalui ilmu psikologi aku ingin meraup berbagai macam jenis polah manusia lalu kupadukan menjadi tokoh inspiratif yang fenomenal.

Aku ingin menjadi pendengar sekaligus pemberi solusi yang baik bagi ibu dan adik-adikku. Sebagai anak pertama aku ingin mengayomi ketiga adikku untuk berani bercita-cita dan pantang menyerah dalam mengarungi hempasan badai kehidupan.

Aku menghembuskan napas tiba-tiba.


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI


Berhenti lagi, entah kenapa aku ingin membuka lembaran-lembaran yang sudah lama kulewati. Garis-garis buku itu terlempar mundur, ternyata ada banyak hal yang terpatri di sana. Keseharianku, kekesalanku, kesedihanku, kegembiraan, sampai tangisan putus asa pun pernah kutorehkan di buku ini. Hm...lumayan bagus, pujiku sendiri. Sebersit pikiran lain muncul: aku ingin coba Sastra Indonesia UI. Sejauh ini rasa-rasanya aku tidak mahir di pelajaran lain selain Bahasa Indonesia. Mata pelajaran ini pula yang menghiasi raport sekolahku dengan huruf A.

Aku menyangga dagu dengan kedua tangan. Diantara jari telunjuk dan jari tengah tangan kanan masih terselip pulpen hijau favoritku. Aku melempar pandangan ke luar teks.

“Uwi pengen masuk UI,” gumamku

“Uwi ngrasa UI akan merubah hidup Uwi.”

Aku menutup mata, mencoba membayangkan sosok kampus perjuangan itu, tetapi tak muncul sama sekali. Hanya ada gelap. Tak ada setitik pun gambar yang muncul. Aku kembali menulis.

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk....

“Mba, lawuhe neng ndi?”[1]

Suara Komar, adik bungsuku, memacetkan tinta yang sedang mengukir mimpiku.

“Neng lemari, tempenya sijinan ya... mba Ratna karo Jaka diturahi.”[2]

Tidak ada suara lagi, sepertinya dia sudah mulai makan. Si bungsu ini baru kelas empat SD, dia senang sekali main layang-layang. Meskipun bukan musim layangan dia tak pernah absen menerbangkan layangannya di lapangan. Dia ini “kencang” dalam segala hal. Selain Komar, ada Jaka, kakaknya bungsu. Dia sudah kelas dua SMP, satu-satunya anak ibu yang mewarisi otak ayah ya Jaka ini. Kecerdasannya luar biasa, secerdas ayah yang hobi menjuarai olimpiade. Kalau adik pertamaku namanya Ratna, tahun ini mau masuk SMA. Katanya dia ingin jadi perawat. Mendengarnya aku begitu bahagia, impiannya begitu mulia. Oleh karena itu studinya harus terus lanjut. Tahun ini dia harus sekolah.

Kuseka wajah ini dengan kedua telapak tangan.

Uwi pengen masuk UI

Tahun ini Ratna harus sekolah

Uwi pengen masuk UI

Soal biaya sepertinya ibu sudah mempersiapkan. Arisan yang ibu dapat tiga bulan lalu masih tersimpan utuh. Tidak berkurang sama sekali, padahal aku tahu ibu ingin membeli panci baru. Panci di dapur sudah bolong.

Uwi pengen masuk UI

Aku tidak mungkin menguapkan senyum ibu dengan impianku ini

Uwi pengen masuk UI

“Kan ada Sintesa, di sana kalian akan dibantu sama kakak-kakak Sintesa”

Sintesa lagi, aku teringat omongan kakak kuning itu, tapi apa sintesa dapat membantu masalahku sekarang?


Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Uwi pengen masuk UI

Di bait entah keberapa ini terbayang wajah ibu yang pipinya sudah bersahabat dengan keriput. Otot-ototnya yang mengencang menyembul dibalik permukaan kulisnya yang menipis. Jemari ibu seolah menggenggam tanganku yang terus menulis, ibu ingin aku berhenti. Ibu ingin aku berhenti menuliskan mimpiku. Lalu, aku teringat akan sosok ayah yang keberadaan dan ketiadaannya menguatkan ibu. Aku ingat masa penuh suka bersama ayah dulu. Aku ingat ketika ayah mengelus kepalaku dan adik-adik sepulang beliau kerja. Aku ingat kebahagiaan itu, kebahagiaan yang ditinggalkan ayah sebagai kenangan abadi kami. Aku, ayah, ibu, dan ketiga adikku.

Uwi pengen masuk UI

Air mataku tumpah ruah ketika tiba masanya syaraf yang bersemayam di kepalaku mengantarkanku pada elusan terakhir ayah sebelum ajalnya. Ayah bilang,

“Jaga adik-adikmu, bantu ibu.”

Dalam tangis, jemari yang masih rekat dengan ujung pulpen ini bergetar menuliskan sebaris kalimat yang sedikit agak sama,



Ayah, Uwi pengen masuk UI....




[1] Mba, lauknya di mana?
[2] Di lemari, tempenya satu-satu ya... sisihkan buat mba Ratna dan Jaka

0 comments:

Post a Comment

 

Suchz Aha'! Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting