Sunday, February 27, 2011

Ketika Sintesa Berkisah #5

Kepada Ibu



Pagi ini sedikit gerimis. Mungkin sisa-sisa hujan malam tadi, musim ini sering kali begitu, tiba-tiba tanah fajar sudah lembab. Ketika ditanya kapan datang, basahan air langit itu tak mampu menjawab. Tenaganya sudah habis dibuat mengguyur bumi semalaman. Hanya mampu membentuk genangan bisu yang tak kuasa mengerti mengapa ia datang malam-malam.

Perempuan paruh baya itu sedang berkencan pagi dengan buih sabun yang membentuk kilasan awan cumulus bercampur gelimangan baju kotor di dalam ember. Sebelum subuh, seember pakaian yang beraroma tubuh anak-anaknya ia harapkan sudah berjemur di bawah pancaran matahari yang malu-malu mau keluar. Masih banyak aktivitas kencan paginya yang lain selain bersiap diri menekan dynamo mesin jahit. Beradu cepat untuk mendapat “barang” paling banyak, mengeruk jatah jahitan hari ini.

Nasib seorang buruh borongan, siapa yang kuat menjahit banyak dialah yang bawa uang banyak.

Baju Komarlah yang paling banyak menceburkan diri di luapan busa yang menjadi tutup ember. Anak ini memang paling sering gonta-ganti baju. Ia sengaja memisahkan baju Komar dari cucian lain karena saat ini anak bungsunya itu sedang pilek—apa hubungannya? Hobi Komar adalah menjadikan kaos bagian depan perutnya sebagai sapu tangan. Sesudah selesai makan gorengan misalnya dia akan mengelap tangan mungil penuh minyak itu pada kaosnya. Ia pun terbiasa mengelap wajahnya yang penuh peluh dengan “sapu tangan” berjalannya. Apalagi kalau sedang pilek, tak jarang dia membuang ingus seenaknya saja di sana. Jorok, seperti almarhum ayahnya. Kadang wanita itu mendengus kesal, tetapi ia pun akan tersenyum sendiri karena baju kotor anak ini mengingatkannya pada saat-saat awal pernikahannya. Ketika dia uring-uringan mencuci baju suaminya sendiri karena tak terbiasa mencuci pakaian lelaki yang umumnya menyerap banyak deterjen. Kadang ia pun merasa bersalah karena tak sepenuhnya dapat memberikan perhatian kepada anak bungsunya. Sejak kepergian suami tercinta lima tahun lalu, dia terpaksa menitipkan Komar pada mertuanya selama ia bekerja sebagai buruh menjahit sarung di pabrik. Meskipun embah tak kurang kasih sayang, ia tetap merasa hal ini tak adil bagi Komar. Anak bungsunya itu tak mendapat belaian mentari ibu seperti ketiga saudaranya yang lain. Jika sekarang Komar lebih nyaman makan dari suapan embahnya, tidak ada yang bisa disalahkan.

Kalau baju Jaka malah yang paling sedikit. Sepulang sekolah ia selalu mampir ke Perpustakaan Daerah, mengerjakan PR-PR-nya di sana. Kalau di rumah gak konsen, begitu katanya. Dia baru sampai rumah pukul lima sore, mengganti baju yang besok sorenya dipakai lagi. Kalau tidak disuruh ganti dia tak akan mengganti bajunya. Entahlah, kadang tingkah laku orang pintar memang aneh. Baju Jaka selalu bersih, ia tidak perlu mengeluarkan tenaga super untuk mengucek noda di salah satu bagiannya. Paling hanya bagian kerahnya yang perlu disikat, terang saja akan banyak garis-garis coklat pada kain yang berjam-jam—berkali-kali—menempel di lehernya yang berpikir.

Ratna suka meninggalkan uang di kantong bajunya. Dari sana dia tahu bahwa putrinya yang satu ini jarang membeli jajan di sekolah. Jika dia mencuci hari Rabu, ia akan menemukan uang Rp8.000,00 yang kedinginan dalam saku rok SMP-nya. Dia miris, dengan bekal uang saku Rp3.000,00 setiap hari berarti Ratna hanya menghabiskan Rp1000,00 selama tiga hari. Ia menyisihkan uang basah tadi ke tempat sabun di sampingnya. Terkadang dia suka berkelit hati dengan membuat semacam woro-woro kepada anak-anaknya perihal kasus ini. Barang siapa meninggalkan uang di kantong baju atau celananya berendam di dalam air sabun, maka hak milik uang tersebut beralih kepadanya. Protesan anak-anaknya terlebih Ratna membuatnya semakin miris. Lalu ia pun semakin tegas mengetatkan peraturan itu dengan alasan terselubung: tidak ingin menyaksikan lagi kenyataan atas sikap irit yang melanda anak-anaknya. Tubuhnya tersenyum kecut setiap kali menjemur pecahan seribuan basah di atas magic jar hadiah almarhum suaminya.

Seandainya ibu mampu, Nak.

Kini giliran baju putri sulungnya, Uwi. Bagian pantatlah yang menjadi perhatiannya kali ini, anak ini tak pernah memperhatikan kondisi alas duduknya, asal duduk saja. Tidak peduli itu kotor atau bersih. Susahnya, rok yang kotor sejak pagi itu tidak langsung dibawa ke tempat cucian, malah dibiarkan tergantung di kastok baju kamarnya. Setelah tiba masanya dia memunguti baju kotor di tiap kamar anaknya, barulah ketahuan akan nada noda membandel yang sulit dibersihkan. Untuk mencucinya dibutuhkan sabun mandi agar noda yang membandel itu cepat menguap.

Adzan subuh menggema di bilasan terakhirnya, dia mengucap syukur.



“Subuh! Ayo bangun! Siapa yang mau dikucir duluan?”

Aku merebut bantal guling yang semula terdekap erat oleh Ratna. Mataku merem melek mendengar suara ibu, melihat Ratna yang masih pulas aku lekas beranjak.

Aku yang dikucir duluan.

Selepas subuh aku duduk manis membelakangi ibu, sudah mandi. Aku duduk di lantai sementara ibu duduk di atas jengkok[1], siap menghias mahkota kepalaku. Hari ini aku dan Ratna beradu bangun cepat agar bisa dikucir ibu, bagi kami merasakan belaian tangan ibu melalui sebatang sisir adalah hal yang teramat istimewa. Apalagi setelah ayah meninggal dan ibu memutuskan untuk bekerja, jatah menyisiri kami jadi berkurang. Kalau dulu ibu masih sempat melayani dua putrinya yang minta dikucirkan rambutnya dengan model tertentu, sekarang sudah tidak lagi. Ibu cuma punya waktu sedikit di pagi hari, itu pun beliau harus bangun lebih pagi dari biasanya. Sebenarnya kami tak tega kalau harus meminta ibu untuk menyisir rambut kami, toh kami ini sudah bukan anak kecil lagi. Namun, sekali waktu ibu akan menawarkan diri untuk menyisir salah satu rambut kami dan salah satu dari kami akan berjuang untuk mendapatkan kesempatan langka itu.

“Mau dikucir apa?”

“Satu di tengah, tapi disisain yah,” ujarku sambil memilah-milah buku catatan Matematika, hari ini ada jam tambahan ke-0. Aku menikmati sentuhan jemari ibu yang kaku lantaran terlalu sering bersentuhan dengan kain-kain sarung yang dipenuhi zat pewarna pakaian. Setiap hari ibu balapan untuk menjahit sarung sebanyak-banyaknya untuk mendapat upah yang banyak pula.

Kulit kepalaku merasakan kekasaran telapaknya.

Aku menyelinap ke dalam lembar-lembar rumus matematika yang tertoreh di lembar buku tipisku—tidak seperti teman lain yang umumya menggunakan buku tebal untuk pelajaran matematika. Sekelebat tulisan perombak nalar itu menyembul dibalik lembar licinnya. Aku menutup mata, meminta kekuatan entah pada siapa. Kuambil napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan,

“Bu…” gumamku,

“Ya?”

“Uwi pengen masuk UI”

Aku merasakan desiran tangan ibu berhenti. Ikatan tali rambut yang seharusnya dilingkarkan pada rambut yang terkumpul mendadak macet. Aku mengaduh.

Ibu sadar jemarinya yang berhenti menarik rambutku membuatku sakit, lalu dia melanjutkan mengikat tanpa menjawab pernyataanku.

“Wis, maem ndisit yuh,”[2] kata ibu sembari beranjak, meninggalkan sisir dan kotak pita di sampingku. Biasanya ibu akan turut membawa dan membereskan semuanya, kali ini tidak dan aku tidak tahu alasannya.



Kami sekeluarga sarapan ponggol, nasi bungkus yang lauknya sambal goreng tempe ditambah mie hula-hula yang dibumbu merica bawang putih. Di ruang tamu yang merangkap ruang makan juga ruang keluarga ibu menatap kami disela suapannya. Aku merasa tatapannya ke arahku lebih lama dibanding Jaka dan Ratna.

“Bu, kakak kelas Uwi ya kuliahnya cuma bayar seratus ribu lho….”

Ibu menghentikan tangannya di udara, melirikku sebentar lalu kembali memasukan makanan tadi ke mulutnya.

“Itu per semester, tiap enam bulan.”

Ibu tetap tak bergeming,

“Trus ya Bu, kalau di UI itu ada yang namanya BOP Berkeadilan. Jadi bayarnya sesuai kemampuan orangtua Bu, kalau yang bener-bener gak mampu bisa gratis!”

Ponggol ibu habis, ia meremas bungkus ponggol itu dengan jemarinya yang kotor oleh sisa nasi dan lauk yang menempel.

Ibu meremas bungkus ponggol itu sembari melihatku nanar lalu melangkah keluar.

Aku turut berkemas, siap berangkat. Sampai bibir pintu ada angin menerpaku, sejuk yang mendingin. Ah, aku merasa ini tak begitu baik. Apa karena tubuhku terlalu lemah untuk menampa angin? Padahal aku merasa sudah cukup dengan selalu tersenyum pada daun yang runtuh.

Matahari itu kejam, menukik-nukik hawa panas di tengah serpihan angin yang menyisir. Ini masih terlalu pagi untuk kemunculannya. Seharusnya hujan semalam tidak membuatnya bangun cepat. Matahari itu membuatku semakin pilu.

Aku mencium punggung tangan ibu, takzim. Ibu menatapku lekat-lekat, menyiangi setiap kata yang baru saja meluncur dengan selancar penyot yang terbata-bata.

Uwi pengen masuk UI, Bu…

Ibu menghembuskan napas sembari menutup matanya lalu beranjak,

“Uwi pengen ngubah kehidupan kita dengan ilmu Bu, bukan dengan uang.”

Langkahnya terhenti. Kulihat bahunya turun naik, sesekali tangan kanannya terangkat, mengusap salah satu bagian di wajahnya. Kutaksir ia mengusap sudut matanya.

“Assalamu’alaikum,” ucapku pamit.





[1][1] Kursi kecil yang terbuat dari kayu, tingginya sekitar 30 cm



[2] “Yaudah, makan dulu yuk.”

0 comments:

Post a Comment

 

Suchz Aha'! Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting