Sunday, February 27, 2011

Ketika Sintesa Berkisah #6

Kisah Kecil Uwi Kecil



Bundaran merah di ufuk timur baru saja menyembul keluar, mengendap-endap di tengah nuansa Minggu yang melenakan semesta. Anak-anak lekas berkumpul di halaman rumah Radit tanpa komando. Ini adalah sebuah rutinitas tak bersyarat yang dilakukan anak-anak Kelurahan Slerok, Kota Tegal. Sebuah kelurahan yang cukup strategis, mengingat letaknya dekat sana-sini. Mulai dari Gedung Olahraga (GOR), Stasiun, Alun-alun Kota, Masjid Agung, SD sampai SMA unggulan dapat dengan mudah dijangkau dari kawasan ini. Berawal dari kebiasaan orang-orang memenuhi kebutuhan mereka dengan menyerok pasir dari dasar Kali Perpil, sebuah sungai yang kerap menyimpan kisah-kisah mistis di sepanjang alirannya. Akhirnya daerah di sekitar sungai ini dinamakan Slerok, berasal dari kata nyerok tadi yang berarti keruk, mengeruk.

Di satu-satunya pelataran rumah yang berkeramik, anak-anak itu mulai mengumpulkan properti yang sudah dipersiapkan. Terjuntailah sebuah selendang merah dengan motif plokadot warna orange yang mereka namakan selendang Anjali. Rupa-rupanya doktrin hollywood sedang melanda anak-anak ini. Untuk mencari selendang yang mirip dengan yang dipakai tokoh Anjali dalam film Kuch-Kuch Hota Hai ini mereka sampai mengadakan semacam audisi. Bagi yang memiliki selendang (mirip) Anjali ini akan bebas memilih mau jadi apa di setiap permainan mamahan yang sering mereka gelar. Selendang Anjali itu ditemani ceplik, lampu minyak yang dibuat sendiri oleh pemiliknya.

Kami siap main.



Permainan khas anak Slerok adalah mamahan, kalau di-Bahasa Indonesiakan menjadi rumah-rumahan. Modus permainannya sama seperti bermain peran, anak-anak Slerok memainkan drama kecil seputar kehidupan rumah tangga orangtua mereka. Tidak ada skenario khusus di sini, hanya setiap anak harus siap menjadi sutradara ketika nasib sial hom pim pah menuntut mereka untuk mengisahkankan bagaimana kehidupannya di rumah. Kemudian, anak yang bernasib malang itu harus rela melihat rekannya memerankan bapak-ibu mereka dengan gaya yang tidak sebenar-benarnya, melainkan dengan penambahan yang tidak seperlu-perlunya!

"Hom Pim Pah Alaihom Gambreng!" Dari lima tangan mungil yang terjulur, ada satu yang memperlihatkan punggung tangannya sementara empat yang lain menengadahkan telapaknya.

“Uwi!!!” teriak Jono, Radit, Muslim, dan Devi bersamaan.

“Gak bisa donk! Kan di aku ada aku, ibu, bapak, Ratna, Komar, sama Jaka. Ceweknya kurang!” protesku,

“Hm, iya sih... Jono aja deh! Kan pas tuh!” celutuk Muslim diamini Radit dan Devi.

“Lah, daning nyong maning???”[1]

“Hahahaha....”

Jono memang selalu menjadi bulan-bulanan kami, sifatnya yang riang dan tak mudah tersinggung membuat teman-teman begitu menyayanginya. Kami tidak semangat bermain jika tidak ada Jono karena tak ada yang bisa “dianiaya”. Permainan paling seru memang kalau memerankan keluarga Jono. Aku dan kawan-kawan akan memaksa Jono berpura-pura seperti ayahnya yang apabila bersin selalu berbunyi “Tempe!” atau “Tahu!” bahkan “Dage!” dan Jono tak pernah kuasa menolak permintaan kami. Kadang oleh kami dia dipaksa mempraktekkan adegan bersin itu sampai menimbulkan bunyi “Daging Ayam!”

Mamahan ini kalau tidak dilakukan di beranda rumah Radit yang besar, kadang di dalam sentong, yaitu sekat kecil yang memisahkan antara dua rumah yang bersebelahan. Hanya saja kami harus waspada alih-alih suara berisik kami membuat si pemilik rumah akan melayangkan ember berisi air bekas cucian beras. Kadang sampai dua ember sekaligus, melayang dari sisi yang berbeda.

Pagi itu yang bermain peran hanya Jono, yang lain terpingkal-pingkal.

Saking akutnya jiwa mamahan itu, lama-kelamaan kebiasaan ini merambah ke luar bidang rumah tangga. Hampir setiap ada adegan yang menarik selalu kami lakonkan, tak jarang terlibat pertengkaran sengit demi memperebutkan peran untuk memainkan salah satu personil power rangers.

Buah penyakit akut ini adalah surga-surganan. Permainan ini dilakukan setelah selesai mengaji di rumah Pak Ustad, kami akan mempraktekkan ceramah Pak Ustadz dalam sebuah teater. Dalam permainan itu kembali Jono yang kena sial, dia harus memerankan preman pasar yang durhaka pada orangtuanya, begitu pula Radit. Radit merupakan satu-satunya anak mamah di kampung kami, yang lain anak ibu dan emak. Sementara aku berhak memilih menjadi anak sholeh yang masuk surga karena sayembara Selendang Anjali tempo hari dimenangkan olehku. Radit dan Jono akan gagal melewati jembatan siratal mustakim karena semasa hidupnya jarang salat dan suka batal puasa. Aku sendiri bebas menggantung di pohon mangga tetangga—yang diibaratkan pohon di surga—yang di bawahnya mengalir sungai susu. Muslim dan Devi masing-masing menjadi algojo neraka dan pelayan surga.



Desir angin menerpa mukaku, aku tersadar dari ingatan yang menyelam ke dasar malam.

Hari ini Radit mengajakku duduk di batu hitam yang terletak di pojok tikungan, di ujung sentong. Dulu kami membayangkan batu Hajar Azwad yang sering diceritakan Pak Ustadz ya seperti batu ini, tetapi Ka’bahnya sudah jelas tidak seperti bangunan di sebelahnya, rumah almarhumah Mbah Royah.

“Ini mah bukan Ka’bah...masa Ka’bah pakenya geribik[2] trus penyot-penyot lagi, hampir rubuh! Hahaha....” Radit kecil berkelakar, kami semua menyetujui dengan ikut tertawa.

Mendengar celotehan kami Pak Ustadz marah-marah lalu menghukum kami untuk membelikan bubur Mbah Royah setiap pagi.



“Inget gak, kita dulu pernah ‘nikah’ di sini.” Setelah sekian lama terhanyut dengan lamunan masing-masing, Radit mengeluarkan sederet kalimat yang membuatku kikuk.

“Hahaha, iya. Lucu sekali yah! Cincin plastik yang kau jadikan sebagai maskawin kupaksakan masuk di jariku. Dapet dari mana sih?”

“Iya! Iya! Terus kamu kesakitan kan waktu mau nglepas tu cincin, sampai pake sabun sama minyak lentik[3] segala. Itu hadiah cikki tau!”

“Dan akhirnya cintin itu kupotong dengan pisau, nyaris mengenai jariku!”

Radit tertawa lepas.

Kami terdiam lagi, menonton upacara “pernikahan” itu di layar angan-angan.



Kami siap main

Aku dan Radit kecil duduk berdampingan, Selendang Anjali menutupi kedua kepala kami. Di depan kami sudah dinyalakan api dari ceplik kecil yang dibuat dari bekas botol kratingdaeng. Simbol api suci.

Para penonton menikmati suguhan suara Devi yang berdandan layaknya Krisdayanti. Rambutnya diikat ke atas menggunakan pita panjang yang terjuntai-juntai tertiup angin, sepatu hak tinggi ibunya membuatnya harus bersandar di tembok untuk menguatkannya berdiri. Suaranya ia lengking-lengkingkan semirip diva pop itu, lagu yang dibawakannya adalah Bagimu Negeri!

Sungguh suasana pernikahan yang menggoda tawa. Selepas lagu Devi, kami disuruh berdiri kemudian selendang anjali itu diikatkan pada kedua lengan kami. Prosesi selanjutnya kami harus mengitari api suci sebanyak tujuh kali dan para penonton menaburi kami dengan bunga melati yang dicampur daun mangga yang telah disobek-sobek. Persis seperti ketika Rohul dan Anjali menikah dalam Kuch-kuch Hota Hai.



Aku terkikik.

Radit juga.

“Kalau suatu saat kita nikah beneran gimana yah?”

Seketika mukaku merah padam, aku merona malu tanpa jawaban. Radit memandangiku yang sedang malu tanpa mengajukan pertanyaan lagi. Aku yakin dia tahu apa yang telah melanda hatiku.



Pagi ini kami habiskan bersama kenangan masa kecil yang terlampau indah. Tentang surgaku dan nerakanya, dan surganya dan nerakaku di kehidupan nyata.



“Mas Radit karo Mba Uwi pacaran yah? Cie... cie... cie...” anak kecil zaman sekarang, yang tak pernah merasakan indahnya sensasi mamahan, dapat dengan cepat mengetahui hubungan kami.

Kami berdua saling pandang, cengar-cengir.

***



Radit keluar kamar mandi dengan tubuh wangi. Dia sudah rapi dengan setelan baju terbaiknya. Di atas kasur, ponselnya masih bicara sendiri.

“Eh, Mama masih di situ yah?”

“Kebiasaan deh ni anak. Habis ngapaen sih?”

“Mandi, hehe”

“Kok cepet?”

“Biarin yang penting wangi!”

“Emang mau ke mana? Jangan lupa belajar lho, beneran niat masuk UI kan?”

“Iya Mamaaaa!”

Klik!







[1] “Yah, kok aku lagi?”



[2] Bilik bambu yang dianyam



[3] Minyak sayur

1 comments:

Guses on March 31, 2011 at 1:38 AM said...

Ci Ci, bagus Ci. Seru lho kegiatan anak-anak yang diceritakan. Ini lanjutan yang lalu apa enggak?

Post a Comment

 

Suchz Aha'! Copyright © 2011 Designed by Ipietoon Blogger Template and web hosting